Allah menggambarkan keadaan yang dialami orang kafir selama hidup tanpa cahaya. Di sini, Allah menggunakan dua perumpamaan agar lebih mudah dipahami.
Pertama, Allah mengumpamakannya seperti orang yang sangat haus dan berusaha mencari air. Samakin hausnya, ia melihat fatamorgana yang nampak seperti air. Sesampai ia padanya, ternyata tidak ada air sama sekali. Begitulah orang kafir. Amal apa pun yang mereka kerjakan hanyalah bagai fatamorgana yang tidak memberi manfaat apa-apa bagi mereka kelak di akhirat.
Kedua, Allah mengumpamakannya seperti dalam kegelapan yang berlapis-lapis, sehingga mereka tidak bisa melihat tangannya sendiri. Padahal tangan itu masih melekat pada tubuh mereka. Sedemikian gelap hidup yang mereka alami, mereka tidak bisa melihat apa yang ada pada tubuh mereka sendiri. Karena itu, orang kafir sering mengalami goncangan yang tidak bisa mereka kendalikan. Puncaknya, mereka bunuh diri. Mereka benar-benar tidak bisa mengetahui, sekalipun diri mereka sendiri. Itulah kegelapan kekafiran. Kegelapan yang tidak saja membahayakan orang lain, tetapi juga diri mereka.
Bagai Memburu Fatamorgana
Seharusnya setiap amal yang dilakukan hamba-Nya berdasarkan rumus “minallahi wa lillahi”, yaitu dari Allah dan untuk Allah. Kedua hal dalam rumus ini adalah satu kesatuan. Bila hilang salah satunya, automatis amal tersebut ditolak.
“Minallahi” artinya, amal tersebut harus sesuai dengan panduan yang datangnya dari Allah. Dan “lillahi” berarti amal itu dikerjakan semata untuk Allah, bukan untuk dipuji orang.
Dalam konteks ini, Allah memberi perumpamaan mengenai perbuatan yang dilakukan orang-orang kafir.
Firman Allah swt, “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun...”
Dari ayat tersebut, ada tiga poin penting yang patut kita catat.
Pertama, orang-orang kafir sebenarnya bekerja keras untuk mencapai kebahagiaan. Benar, mereka telah bekerja semaksima kemampuan yang mereka miliki. Bahkan negeri yang mereka kelola tampak rapi, baik dari segi sistem pengaturan maupun dari aspek kebersihan dan kerapian. Siapa pun yang melihat negara mereka di Barat akan berkata bahwa hampir semua perilaku dan kerapian yang diajarkan Islam telah mereka lakukan. Ini yang dimaksud dengan kata “a’maaluhun”. Jadi, mereka telah berbuat banyak untuk kehidupan mereka, sayangnya itu semata hanya untuk dunia dan untuk kemaslahatan diri mereka sendiri.
Lebih dari itu, semua yang mereka perbuat adalah karangan mereka sendiri, baik itu yang berkaitan dengan urusan dunia maupun yang berhubungan dengan agama yang mereka yakini. Tidak ada satu pun amal yang mereka perbuat berdasarkan panduan Allah swt, dan tidak pernah pula mereka berbuat kerana-Nya. Maka semua yang mereka lakukan benar-benar terputus dari Allah swt.
Sementara, sebuah amal dikatakan bermakna jika dikerjakan berdasarkan panduan Allah dan dengan maksud untuk Allah. Ibarat seorang yang bekerja di sebuah perusahaan, maka apa yang ia kerjakan dianggap bermakna jika sesuai dengan panduan yang telah diberikan dan dikerjakan untuk perusahaan tersebut, bukan perusahaan lain.
Sama halnya dengan hidup di alam ini. Bukankah manusia ada kerana diciptakan oleh Allah dan hidup kerana fasilitas dari-Nya? Maka tak ada pilihan kecuali ikut panduan-Nya dan bekerja untuk-Nya. Namun orang-orang kafir tidak mau ikut panduan Allah dan tidak pernah mau bekerja untuk-Nya. Padahal, mereka milik-Nya dan menikmati kemudahan dari-Nya.
Bayangkan jika Anda pemilik perusahaan. Ada salah satu pekerja yang menikmati kemudahan dari perusahaan Anda, tapi ia tidak mau bekerja atau ikut panduan kerja yang telah diberikan perusahaan. Pasti Anda akan memecatnya. Nah, orang-orang kafir itu seperti karyawan yang nakal tersebut. Hanya, Allah masih beri mereka kesempatan hidup dan tidak langsung memusnahkan mereka, sebagaimana Allah musnahkan kaum Aad, Tsamud, Fir’aun, dan sebagainya.
Setiap amal hamba Allah swt semestinya berdasarkan “minallahi wa lillahi”, yaitu dari Allah dan untuk Allah. Namun, orang kafir benar-benar terlepas dari itu. Dalam ayat 39 surat An-Nur, kita bisa menarik tiga poin pentingnya. Pertama—diulas di edisi lalu—orang-orang kafir bekerja keras untuk mencapai kebahagiaan, namun itu hanya untuk di dunianya.
Kedua, semua perbuatan mereka, sebaik dan sebesar apa pun, bagi Allah tidak ada gunanya. Sebab, Allah tidak memerlukan amal manusia, pun tak pernah merasakan manfaatnya. Bila seluruh manusia berbuat baik atau atau buruk, tak akan menambah atau mengurangi ke-Mahakuasa-an Allah. Yang merasakan kesannya perbuatan/amal manusia adalah manusia itu sendiri. Allah hanya mengambil keikhlasan yang mengantarkan amal tersebut.
Untuk ikhlas, harus ada iman dalam dada. Maka, jika amal dilakukan tanpa iman, automatis ditolak oleh-Nya. Inilah makna ayat, “Lan yanaalallahu luhuumahaa wa laa dimaauhaa wa laakin yanaaluhut taqwaa minkum (daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya),” (QS Al Hajj: 37). Allah tidak pernah mengambil daging kurban yang dipersembahkan sang hamba, melainkan hanya ketakwaan (keikhlasan) mereka.
Tepatlah jika Allah mengumpamakan semua perbuatan orang kafir dengan fatamorgana. Sebab, ia sebenarnya tidak punya wujud; seolah ada, padahal hakikatnya tidak ada. Secara zahir, perbuatan orang-orang kafir itu nampak, dan boleh jadi dengan itu mereka mendapat penghargaan dan pujian dari manusia, tetapi hakikatnya itu semua ditolak Allah swt.
Maksud lain dari perumpamaan itu, orang-orang kafir bagai orang yang tercekam dahaga, sangat mengharapkan air. Fatamorgana yang dilihat ia sangka air. Setelah bersusah payah menuju “air” tersebut, ternyata sangkaannya salah. Perumpamaan ini sangatlah tepat. Berapa lama orang-orang kafir memburu kebahagiaan di balik kerja keras yang mereka lakukan? Tapi di puncaknya mereka hanya mendapat kesengsaraan. Lihatlah bagaimana paham sosialisme yang mereka perjuangkan mati-matian ternyata hujungnya hanyalah keruntuhan. Begitu juga kapitalisme yang kini mereka bela, puncaknya adalah kehancuran kemanusiaan.
Sungguh ini sebuah perumpamaan yang sangat mengharukan. Sayangnya, banyak orang Islam tidak mau belajar dari perumpamaan ini, sehingga ikut-ikutan orang kafir memburu fatamorgana. Padahal, pedoman hidup sudah jelas dari Allah swt, tapi malah mencari yang lain.
Mengapa kita setengah hati, bahkan enggan, mengikuti Allah? Seakan kita ragu dengan kebenaran Islam. Wahai orang Islam, sungguh orang-orang kafir itu menunggu bukti dari kalian. Maka jika kalian maksimal mengikuti panduan Allah, pasti orang-orang kafir itu akan kagum dengan kalian. Dan mereka akan berbondong-bondong masuk Islam, sebagaimana mereka masuk Islam saat pembukaan Kota Makkah.
Ketiga, tergambar dari perumpamaan tersebut sebuah pemandangan yang sangat dramatis. Lihatlah bagaimana Allah swt menggunakan kata qii’ah yang merupakan jamak dari qaa, artinya bentangan padang sahara yang datar. Dan biasanya di bawah terik matahari, nampak fatamorgana di padang itu. Tiba-tiba datang seorang yang sangat haus, melangkah setapak demi setapak memburu fatamorgana. Begitu tiba di tempat yang dituju, ternyata yang ia dapati bukan air.
Lalu ia melihat ke tempat lain, nampak ada air. Begitu menuju ke sana, ternyata air yang tadi dilihatnya tidak ada. Begitulah ia terus-menerus dalam pencarian dan tidak pernah menemukan apa yang ia cari. Namun tiba-tiba, ia mendapati apa yang tidak pernah ia yakini. Ia mendapati Allah. Inilah makna firman-Nya, “Wawajadallah indahuu (dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya).”
Ada tiga hal yang termaktub di sini.
1. Mereka bertemu dalam keadaan tidak siap apa-apa, karena semua yang mereka kerjakan selama di dunia hanyalah kesia-siaan. Tanpa mereka duga, mereka malah bertemu dengan Allah. Ini sebenarnya hal yang paling mereka takuti, malah mereka alami tiba-tiba.
2. Perjalanan mereka selama di dunia hanyalah perpindahan dari satu fatamorgana ke fatamorgana lain, hingga akhirnya tiba-tiba mereka menghadap Allah di akhirat, dan mereka tidak punya apa-apa. Sebab, mereka di dunia hanya sibuk memburu fatamorgana. Akibatnya, mereka harus menanggung risiko kekafiran yang mereka pikul. Itulah balasan dari Allah yang Mahaadil. Allah berfirman, “Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup.”
3. Perpindahan dari dunia ke akhirat sangat cepat, dan seakan sebuah proses yang menyambung tanpa terputus. Justru pada saat sibuk memburu fatamorgana, tiba-tiba mereka masuk ke alam akhirat dan bertemu Allah yang sudah siap menghisab semua perbuatan mereka. Hal ini diperkuat dengan Firman Allah, “Dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Allah menggambarkan, menjadi cepatnya proses perpindahan dari dunia ke akhirat, hanya terasa seperti perpindahan dari malam ke pagi. “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari,” (QS An-Naziat: 46).
Dalam ayat 40 surat An-Nur, Allah swt menggambarkan orang-orang kafir itu seumpama dalam kegelapan samudra yang berlapis-lapis.
Simaklah firman-Nya, “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan. Gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun,” (QS An-Nur: 40).
Dari ayat ini nampak bahwa kekafiran telah menghantarkan mereka kepada puncak kegelapan, sampai ke tingkat bahwa mereka tidak merasa berdosa dengan dosa-dosa besar yang mereka perbuat. Bahkan, orang-orang yang berbuat benar mereka tuduh salah.
Perhatikan bagaimana Allah swt menggambarkan keadaan mereka dalam perumpamaan yang sangat dramatis.
Pertama, mereka seperti berada dalam kegelapan samudra yang berlapis-lapis: kegelapan samudra yang dalam, ditambah dengan tebalnya ombak yang membuat semakin gelap, ditambah lagi dengan gelapnya ombak yang ada di atasnya, lalu ditambah lagi dengan gelapnya awan yang menggumpal.
Bayangkan, dalam keadaan demikian, apa yang bisa mereka lihat. Bahkan tangan mereka sendiri yang masih melekat di tubuh mereka, tidak bisa mereka lihat. Di sini tergambar betapa mereka telah berada dalam kegelapan kekafiran, ditambah lagi dengan gelapnya dosa yang mereka perbuat, ditambah lagi gelapnya dosa-dosa lainnya yang terus mereka lakukan setiap saat, dan masih ditambah lagi dengan gelapnya kebodohan di mana mereka tidak tahu mana halal dan mana haram. Semua itu adalah kegelapan yang berlapis-lapis, yang membuat mereka dalam kesengsaraan tak terhingga; kesengsaraan jasmani dan ruhani sekaligus.
Kedua, dalam perumpamaan itu, orang-orang kafir seperti berenang-renang di titik kedalaman samudra yang sangat dalam. Mereka diliputi gulita yang sangat gelap. Akibatnya, mereka tidak tahu arah. Kegelapan itu terus menyelimuti mereka dan mengantarkan mereka ke lapisan gelap berikutnya. Akhirnya mereka semakin tersiksa. Lalu mereka terbawa ke lapis kegelapan yang lebih dalam lagi. Di sini mereka semakin gelap. Mereka mencoba melihat tangannya sendiri, ternyata mereka tidak sanggup. Bagaimana dapat melihat, mendekati untuk melihat saja mereka tidak mampu.
Allah berfirman, “lam yakad yaraaha.” Kata yakadu artinya hampir atau mendekat. Jadi, saking gelapnya, mereka tidak sanggup melihat sama sekali. Inilah yang Allah gambarkan, “zhulumaatun ba’dhuhaa fawqa ba’dh (gelap gulita yang tindih-menindih atau berlapis-lapis).”
Ketiga, semakin jauhnya tenggelam dalam kekafirannya, orang-orang kafir itu mengalami gumpalan dosa yang berlapis-lapis. Akibatnya, mereka tidak tahu siapakah diri mereka yang sebenarnya. Lebih dari itu, mereka tidak tahu mau ke mana hidup ini akan dijalani. Tidak ada satu pun kebenaran yang bisa mereka pegang. Hidup mereka tergantung arah arus. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan dari mereka.
Sungguh aneh jika kemudian ada orang Islam ikut-ikutan orang kafir. Padahal orang-orang kafir itu hidup dalam kebingungan mencari kebenaran. Mereka sebenarnya sedang berada dalam kegelisahan yang terus menggoncang jiwa mereka.
Sementara orang Islam, sudah jelas panduannya. Semua amal, sekecil apa pun, langsung dihubungkan dengan Allah swt, tidak ada yang sia-sia. Mereka bagai berjalan di bawah naungan cahaya yang pasti membawa kepada keselamatan. Maka tak pantas orang Islam yang hidup di bawah cahaya malah mengekor kepada orang kafir yang hidup di bawah gumpalan kegelapan.
Selain Cahaya Allah, Bukan Cahaya
Ayat ke-40 ini ditutup dengan firman-Nya, “(dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” Ini berarti, apa pun karangan manusia yang hanya berdasarkan rasio, itu bukan petunjuk yang pasti benar. Itu hanya perkiraan yang sangat relatif kebenarannya. Dan inilah cara hidup orang kafir. Semua yang mereka ikuti hanyalah hasil rasio semata. Maka tidak ada cahaya sama sekali di dalamnya, karena cahaya hakiki hanya datang dari Allah.
Maksud lainnya, selama tetap bertahan dalam kekafirannya, orang tidak akan pernah mendapat cahaya Allah sedikit pun. Mereka terus terombang-ambing dalam kegelapan dan kesia-siaan. Ujungnya, mereka pasti masuk neraka. Saya jadi teringat kisah Umar bin Khaththab, ketika suatu hari melewati sebuah gereja. Umar memanggil pendeta yang sedang beribadah di dalamnya. Begitu pendeta itu menghadap, Umar sejenak menatap wajah pendeta tersebut, lalu tiba-tiba meneteskan air mata. Sahabat yang menemani Umar bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa gerangan yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Aku teringat firman Allah swt, ‘aamilatun nashibah tashlaa naaran haamiyah’ (bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka) (QS Al-Ghasiyah: 3-4).” Umar paham, pendeta tersebut sudah berlelah-lelah beribadah, namun akhirnya masuk neraka jua. Sungguh sia-sia keletihan mereka. Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Ust. Dr Amir Faishol Fath, MA
Tiada ulasan:
Catat Ulasan