Khamis, 11 Januari 2018

Al-Qur’an  Dan  Kehidupan  Manusia

Oleh: Ust. Romli Sy-Zain

 Al-Qur’an adalah kitab Allah terakhir yang diwahyukan kepada Nabi terakhir, Muhammad Saw. Kitab ini diturunkan sebagai pedoman hidup bagi umat manusia sepanjang masa. Ia memberikan pedoman hidup dalam bidang akidah, ibadah, dan muamalah atau pembinaan kemasyarakatan dan pengelolaan dunia. Dengan berpedoman kepada Al-Qur’an, manusia dijamin memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

 Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia untuk menjalani hidup secara tepat sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Allah yang pada akhirnya akan kembali kepada-Nya serta memetik hasil perbuatan yang dilakukan selama hidup di dunia. Perbuatan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, dan perbuatan yang buruk akan menghasilkan hasil yang buruk pula.

 Al-Qur’an sebagai petunjuk

 Kedudukan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia adalah sangat wajar mengingat manusia adalah ciptaan Allah, dan sudah sepantasnya bila Allah memberikan pedoman melalui Al-Qur’an yang menunjukkan jalan terbaik bagi hidup

Manusia adalah perangkat yang sangat canggih yang telah diciptakan oleh Zat Yang Maha Pencipta lagi Maha Kuasa. Sedemikian rumitnya struktur tubuh dan jiwa kita sehingga kita tidak mampu mengenali hakikat diri kita sendiri, juga jalan kebahagiaan kita. Dari satu sisi, apakah kita ini lebih kecil dibanding dengan lemari es dan televisi, yang para perancang dan penciptanya berkewajiban menyertakan buku petunjuknya, sedangkan Pencipta kita tidak perlu menyajikan sebuah buku petunjuk kecil untuk kita?!!  Apakah kita tidak memerlukan buku petunjuk, yang menjelaskan keistimewaan-keistimewaan tubuh dan jiwa manusia, yang menerangkan segala kemampuan dan potensi-potensi yang telah diciptakan dalam wujudnya, dan menyebutkan cara-cara yang benar dalam penggunaan semua itu?

Yang lebih penting dari semuanya ialah apakah kita tidak membutuhkan penjelasan tentang bahaya-bahaya yang mengancam tubuh dan jiwa manusia, serta sumber-sumber kebinasaan dan kesengsaraannya secara terperinci? Dapatkah diterima, Allah yang menciptakan kita atas dasar rahmat dan mahabbah, lalu melepaskan kita begitu saja tanpa menerangkan jalan kebahagiaan dan cara mencapai kesejahteraan bagi kita?

Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dengan diturunkannya al-Qur’an oleh Sang Pencipta manusia, Allah SWT. Al-Quran adalah ibarat sebuah buku petunjuk tentang manusia yang Allah kirimkan kepada kita semua.

Di dalam kitab petunjuk inilah Allah Swt menerangkan jalan kebahagiaan dan kesejahteraan, juga faktor-faktor kebinasaan dan kesengsaraan manusia. Hubungan baik kekeluargaan dan kemasyarakatan, masalah-masalah hukum dan akhlak, keperluan-keperluan jiwa dan raga, tugas-tugas individu dan sosial, adat istiadat yang benar dan yang menyimpang di dalam masyarakat manusia, perintah-perintah dan undang-undang keuangan serta perekonomian, dan berbagai topik lain yang berperan di dalam kebaikan atau kerusakan individu dan masyarakat, semua ini dijelaskan di dalam Kitab ini.

 Meskipun di dalam Al-Quran disebutkan juga kisah-kisah tentang kaum-kaum terdahulu, berbagai peristiwa peperangan dan pertempuran, sejarah kehidupan manusia-manusia, baik lelaki maupun perempuan, namun Al-Quran bukanlah sebuah buku cerita, melainkan kitab pelajaran bagi kehidupan kita saat ini. Oleh karena itu nama kitab ialah Al-Quran yang berarti bacaan. Sebuah kitab yang harus dibaca; hanya saja bukan sekedar dibaca dengan lidah, sebagaimana kitab pelajaran di sekolah-sekolah dasar. Ia adalah Kitab yang harus dibaca disertai dengan tafakkur dan tadabbur atau penghayatan, sebagaimana yang diminta oleh Al-Quran itu sendiri.  Allah Swt berfirman:

 Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 1-2).

 Dalam ayat ini,  yang merupakan salah satu ayat pertama di dalam al-Qur’an, Allah Swt menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Kepentingan peranan “petunjuk” yang dimainkan oleh al-Qur’an dapat kita umpamakan sebagai seseorang yang tersesat dan mencari-cari jalan di dalam kesesakan sebuah kota. Di kota itu terdapat pelbagai jalan,  yang mudah dan sukar, ada yang pendek dan panjang,,yang lurus dan berliku-liku, ada yang aman dan  juga yang berbahaya.

 Maka dalam keragaman jalan tersebut, dia sangat memerlukan petunjuk yang dapat menunjuknya jalan yang paling mudah, singkat, lurus dan aman. Yang penting ia menunjuk kepada jalan yang dapat membawa kepada tujuan yang sebenarnya.

 Demikianlah peranan Al-Qur’an, ia adalah petunjuk yang akan menunjukkan kita ke jalan yang mudah, singkat, lurus dan selamat dari segala kesesatan, dan liku-liku kehidupan. Tanpa petunjuk al-Qur’an, kita dapat  mudah tersesat ke pelbagai jalan yang lain.

 Perhatikan kembali ayat di atas, Allah menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi “orang-orang yang bertaqwa”. Secara sederhana, taqwa dapat diartikan takut kepada Allah Swt.

 Tapi takut yang dimaksud di sini bukan seperti takut terhadap binatang buas dan sebagainya. Takut kepada Allah tidak dalam pengertian takut yang menyebabkan kita menjauhi-Nya. Sebaliknya, takut kepada Allah yang dimaksudkan adalah rasa takut yang menyebabkan kita menghampiri-Nya dengan mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, berusaha mencari keridhaan-Nya dan menjauhi kemurkaan-Nya. Semua ini dapat kita capai apabila kita jadikan al-Qur’an sebagai petunjuk.

 Al-Qur’an sebagai cahaya

 “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur’an). (QS. An-Nisa’ [4]:174)

 Sebelum al-Qur’an diturunkan, umat manusia digambarkan berada dalam kegelapan, yaitu kegelapan jati diri kemanuasiaannnya, ketidak jelasan tujuan hidup, kerusakan tradisi dan adat istiadat, serta penghambaan yang sesat.

 Lalu Al-Qur’an diturunkan oleh Allah untuk menerangi dan membebaskan manusia dari seghala kegelapan tersebut. Allah Swt berfirman:

 “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (al-Qur’an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya.Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu. (QS. Al-Hadid [57]: 9)

 Tidak hanya sebagai cahaya, Al-Qur’an juga lebih jauh menguraikan petunjuk ke jalan yang paling benar, lurus, serta cara yang paling tepat untuk meraih keselamatan dan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

 “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah [5]:15-16)

 
Kegelapan adalah suasana kehidupan yang tidak menentu, tidak terarah dan tidak terurus. Orang yang tersesat dalam kegelapan seumpama orang yang berjalan tidak menentu di dalam ruang yang gelap tanpa mengetahui arah tujuannya, meraba kesana kemari tanpa tahu apa yang dicarinya dan tak dapat membedakan mana yang bermanfaat dan tidak untuk dirinya. Al-Qur’an adalah cahaya yang menerangi sehingga orang yang menggunakan “cahaya” al-Qur’an sebagai petunjuk akan memiliki kehidupan yang lurus dan terarah.

 
Al-Qur’an  sebagai pembeda kebenaran dan kesesatan”

 “Bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan sebagai petunjuk dan penjelasan-penjelasan mengenai pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. al-Baqarah [2]:185]

 Salah satu persoalan pokok yang selalu menghiasi kehidupan kita sebagai manusia adalah pertanyaan tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang hak dan mana yang bathil, mana yang baik, mana yang buruk, mana jalan kebenaran dan mana jalan kesesatan.

 Lebih jauh lagi adalah bagaimana membedakan dua hal yang bertentangan tersebut. Tentu saja, jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat ditemukan dalam Al-Qur’an. Ia tidak hanya menunjukkan manusia ke jalan kebenaran, tapi juga menjelaskan kaidah-kaidah untuk membedakan suatu hal yang benar dan yang salah. Hal ini ditegaskan Allah dalam ayat yang lain:

 “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisa’ [4]: 59)

 Al-Qur’an sebagai “ruh” kehidupan

 Allah Swt berfirman:

 “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu “ruh” (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. as-Syura [42]: 52)

 Terdapat beberapa penafsiran terhadap perkataan “ruh” dalam ayat di atas. Kebanyakan ulama menafsirkannya sebagai sesuatu yang memberi kehidupan kepada rohani manusia. Sebagaimana diketahui bahwa manusia terbagi kepada dua unsur, jasmani dan rohani. Jika yang menghidupkan jasmani adalah perkara-perkara materialistik maka yang menghidupkan rohaninya adalah al-Qur’an. Jika yang mengobati penyakit jasmani adalah obat-obatan, maka yang menyembuhkan penyakit rohani adalah al-Qur’an. Hal ini juga ditegaskan dalam ayat lain:

 “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.  (QS. Yunus [10]: 57)

 Rohani yang hidup dan sehat adalah sesuatu yang dicari-cari oleh manusia masa kini. Setelah sekian lama memberi tumpuan kepada kehidupan jasmani, mereka sadar bahwa ia sebenarnya tidak memberi kehidupan kepada rohani. Tanpa rohani yang hidup dan sehat, jasmani terasa sakit, bahkan seolah-olah mati, sekalipun ia dihiasi dengan pelbagai keindahan materialistik.

 Untuk menyembuhkan dan menghidupkan rohani, manusia menciptakan berbagai jenis cara dan metode. Namun setiap metode yang mereka ciptakan memiliki pelbagai kekurangan di dalamnya. Sebuah metode boleh jadi bermanfaat untuk sebagian individu tetapi tidak kepada yang lain, berhasil untuk suatu keadaan tetapi tidak untuk yang lain, dan berfungsi untuk satu masa waktu tertentu, tapi tidak berlangsung secara terus-menerus. Terlebih lagi, umumnya, setiap metode yang diciptakan manusia menggunakan prinsip “coba dan salah” (trial and error).

 Selain itu, metode-metode ciptaan manusia tersebut adakalanya diciptakan semata-mata karena mencari kedudukan duniawi dan berorientasi kepada nilai materialistik semata-mata. Seperti bila seseorang yang berhasil mencipkan sebuah metode penyembuhan rohani, maka dia akan terkenal dan menjadi tumpuan orang banyak. Fenomena semacam ini banyak kita temukan pada berbagai praktek penyembuhan rohani (healing of the soul) yang bertebaran di masa kini. Orang-orang akan merujuk kepada “guru” aliran tersebut, menyerahkan diri kepadanya, menyanjungnya serta menghadiahinya dengan pelbagai gemerlap materialistik.

 Faktor utama yang menyebabkan kekurangan ini karena yang menciptakan metode-metode tersebut adalah manusia itu sendiri yang belum tentu sehat rohaninya. Jadi satu-satunya “obat mujarab” untuk menyembuhkan penyakit rohani adalah yang berasal dari Sang Pencipta rohani itu sendiri, yaitu al-Qur’an. Hanya dengan al-Qur’an, rohani manusia akan hidup dan terus hidup dengan sehat.

 Al-Qur’an sebagai kunci kemuliaan

 Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu (dzikr). Maka apakah kamu tiada memahaminya. (QS. al-Anbiya’ [21]: 10)

 “Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar (dzikr) bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab. (QS. az-Zukhruf  [43]:44)

 Perkataan dzikr dalam kedua ayat di atas ditafsirkan oleh ‘Abd Allah ibn ‘Abbas ra.  sebagai “kemuliaan” dan ini sepakati oleh al-Imam Ibn Jarir al-Tabari. Berdasarkan dua ayat di atas, kita dapat memahami dengan jelas bahwa al-Qur’an adalah kunci menuju kemuliaan.

 Ini terbukti melalui sejarah bangsa Arab di mana sebelum diturunkan al-Qur’an, mereka adalah satu bangsa yang hina dan tidak dikenal oleh dunia.

 Akan tetapi setelah Al-Qur’an diturunkan, mereka berpegang dan mempraktikkan seluruh ajarannya sehingga mereka bangkit menjadi bangsa yang mulia, mengalahkan bangsa-bangsa besar lainnya, terutama Romawi dan Persia, dua kekuasaan raksasa pada saat itu.

 Dan ketika Islam berkembang meluas ke bangsa-bangsa yang lain, bangsa-bangsa itupun turut berpegang teguh kepada ajaran al-Qur’an dan mempraktikkannya dalam seluruh urusan kehidupan. Karena itulah, akhirnya mereka – yakni umat Islam – berhasil bangkit menjadi umat yang mulia dari belahan Timur hingga Barat. Umat Islam menjadi umat yang disegani, dihormati dan diteladani.

 Namun sayang sekali, beberapa abad kemudian umat Islam mulai mengabaikan ajaran al-Qur’an dan menoleh kepada ajaran-ajaran yang lain. Karena sikap inilah keadaan mereka berubah ke arah kemunduran sebagaimana yang dapat diperhatikan sekarang ini. Jadi benar apa yang disabdakan Rasulullah Saw:

 “Sesungguhnya Allah mengangkat kedudukan satu kaum dengan kitab ini (al-Qur’an) dan merendahkan kedudukan satu kaum yang lain karenanya.” (HR. Muslim)

 Maksudnya, seseorang itu akan dapat memperoleh kemuliaan jika dia mengamalkan al-Qur’an dan memperoleh kehinaan jika dia mengabaikannya.

 Sesuatu yang lebih menyedihkan, umat Islam masa kini bukan saja mengabaikan al-Qur’an sebagai kunci kejayaan, tetapi mereka mencari kunci tersebut dari orang-orang bukan Islam. Banyak Umat Islam masa kini mencari kemuliaan di sisi orang bukan Islam. Mereka meniru bulat-bulat apa saja yang berasal dari selain Islam, bahkan menggunakan skala ukuran orang bukan Islam untuk menilai dan membedakan antara kemuliaan dan kehinaan. Mereka lupa atau tidak tahu bahwa skala ukuran yang sejati bagi kemuliaan ialah apa yang ada di sisi Allah Swt. Dalam al-Qur’an dinyatakan:

 Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. [QS. Fathir [35]:10)

 Dan kemuliaan yang semestinya diraih adalah kemuliaan yang dicapai melalui pengamalan terhadap al-Qur’an. Rasulullah Saw. menerangkan bahwa:

 “Sesungguhnya Allah memiliki manusia-manusia yang sangat istimewa.” Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Siapakah mereka?” Rasulullah menjawab: “Mereka adalah Ahli al-Qur’an, merekalah orang yang istimewa di sisi Allah dan khusus di sisi-Nya.” (HR. Ibnu Majah)

 Adapun menjadikan orang bukan Islam sebagai kunci dan skala kemuliaan, maka sikap tersebut merupakan salah satu dari ciri-ciri munafik yang wajib dihindari. Allah Swt telah mengingatkan melalui firman-Nya dalam al-Qur’an:

 “(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu Maka sesungguhnya semua kemuliaan kepunyaan Allah. (QS. an-Nisa’ [4]: 138-139)

 Demikianlah, uraian di atas sekedar pengantar untuk memberikan gambaran betapa pentingnya al-Qur’an dalam kehidupan kita sebagai manusia. Bila tujuan manusia yang sebenarnya adalah meraih kesejahteraan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat, maka Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk dan penuntun manusia guna meraih tujuan tersebut.

 Berinteraksi dengan al-Qur’an

 Alhamdulillah, hingga saat ini, mayoritas umat Islam menghormati al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci. Namun patut menjadi perhatian dan bahkan keprihatinan kita karena penghormatan yang ditunjukkan tersebut tidak disertai dengan ketekunan untuk menelaah dan mempelajarinya, apalagi mempraktekkan dan mengamalkan ajaran-ajarannya. Sejak kecil kita diajar untuk menghormati al-Qur’an semata-mata karena ia adalah al-Qur’an, bukan kerana pengetahuan tentang apakah al-Qur’an dan peranannya kepada kita sebagai seorang Muslim. Sekali mengamalkan al-Qur’an, yang diamalkan bukanlah ajarannya tetapi ayat-ayatnya yang diperalat untuk tujuan tertentu seperti hiasan dalam rumah, menghalau gangguan makhluk ghaib, melariskan dagangan, menyembuhkan penyakit, lulus ujian, memagari rumah dan sebagainya.

 Tentu saja hal-hal tersebut tidak keliru sebagai bagian dari bentuk penghormatan terhadap al-Qur’an. Hanya saja, bila penghormatan terhadap al-Qur’an diwujudkan dalam bentuk menelaah dan kemudian mengamalkan kandungannya, tentu al-Qur’an akan tampil lebih bermakna dan bermanfaat untuk kehidupan kita semua. Lebih dari itu, dengan menelaah dan mempraktikkan kandungan al-Qur’an, kita sesungguhnya telah mencapai tujuan asal al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt.

 Para ulama telah menjelaskan bahwa prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang muslim dalam berinteraksi dengan al-Qur’an adalah:

 memuliakan dan menghormati al-Qur’anmembaca dan merenungkan maknanyamenghafalkannyamenelaah dan memahami kandungannya mengamalkan dan mempraktikkan ajaran-ajarannya dalam seluruh dimensi kehidupan.

 Jika seorang muslim mampu menjalankan kelima hal tersebut dalam kehidupannya, maka ia termasuk di antara manusia yang paling istimewa di sisi Allah Swt. Semoga kita semua di berikan kekuatan dan kemampuan dalam melaksanakan kelima hal di atas, sehingga kita betul-betul dapat mewujudkan cahaya al-Qur’an di seluruh lini kehidupan kita. Amin.

 Wallâhu a’lam.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan