Isnin, 11 September 2017

Hukum Berdakwah

Di antara ayat-ayat dakwah yang menyatakan kewajiban dakwah secara tegas adalah surat An-Nahl ayat 125, surat Ali-Imran ayat 104, dan surat Al-Maidah ayat 78-79.

An-Nahl 125:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ali-Imran 104:

وَلتَكُن مِنكُم أُمَّةٌ يَدعونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأمُرونَ بِالمَعروفِ وَيَنهَونَ عَنِ المُنكَرِ ۚ وَأُولٰئِكَ هُمُ المُفلِحونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.

Al-Maidah 78-79:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُون

Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan kita untuk melaksanakan dakwah Islam. Perintah tersenut ditunjukkan dalam bentuk kata perintah dan kecaman bagi yang meninggalkan dakwah. Kata perintah (Fi’il amr) disebut dalam dalam surat An-Nahl ayat 125 dengan kata “serulah” (أدع) sedangkan dalam surat Ali Imran ayat 104 kata perintahnya berupa “Dan hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru…” (ولتكن). Perintah pertama lebih tegas daripada perintah yang kedua. Perintah yang pertama menghadapi subjek hukum yang hadir, sedangkan subjek hokum dalam perintah kedua tidak hadir (in absentia). Selain itu, pesan dari perintah pertama lebih jelas, yakni “berdakwalah”, sedangkan pesan dari perintah kedua hanya “hendaklah ada sekelompok orang yang berdakwah”.

Dalam surat Al-Maidah ayat 78-79 tersebut Allah mengecam dengan keras Bani Israil yang meninggalkan dakwah yaitu “tidak melarang kemungkaran”. Ayat ini menampilkan contoh nyata dari umat terdahulu yang disiksa karena mengabaikan perintah mencegah kemungkaran meski kecaman tidak ditujukan kepada umat Nabi SAW tetapi berlaku pada umat nabi SAW. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan “Pada dasarnya, perintah itu menunjukkan kewajiban (al-ashl fi al-amr li al-wujub)”. Dengan demikian, pada ayat di atas telah jelas bahwa perintah berdakwah adalah wajib. Demikian pula, ancaman laknat Allah menunjukkan larangan keras. Kaidah Ushul Fiqh lain yang terkait dengan kaidah di atas berbunyi, “(al-ashl fi al-nahy li al-tahrim) pada dasarnya, larangan itu menunjukkan hokum haram”. Dan juga terdapat kaidah lain, “(al-nahy ‘an al-syai amr bi al-dliddih) melarang sesuatu berarti memerintahkan kebalikannya”. Dengan demikian, kecaman keras Allah bagi orang yang tidak peduli dakwah berarti perintah wajib melaksanakan dakwah.

Juga terdapat ayat yang memerintahkan dakwah yang ditujukan kepada Nabi SAW yaitu surat Al-Maidah ayat 67 : ياأيها الرسول بلّغ ما أنزل إليك…… “ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu……”. Walaupun ayat itu ditujukan kepada Nabi SAW, namun perintah itu juga berarti ditujukan untuk semua umat Islam, ini berpedoman kepada kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi “yang dijadikan pegangan adalah kalimat yang bersifat umum, bukan pada sebab yang khusus (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khushush al-sabab)”. Jadi, perintah dakwah yang dititahkan oleh Allah SWT kepada para nabi juga menjadi perintah kepada umat Islam seluruhnya.

Para ulama sepakat atas wajibnya dakwah, dan berbeda pendapat dalam macam kewajibannya atau mengenai orang yang dibebani kewajiban dakwah; Apakah termasuk fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Masing-masing pihak memperluas atgumentasi dengan mendasarkan kepada nash syariat dan dalil akal, perselisihan antara dua pendapat itu emnyerupai perbedaan teori (nazhari) dan jarak keduanya dari segi praktis adalah sempit. Para ulama yang berpendapat bahwa dakwah itu fardhu ‘ain beralasan dengan dalil-dalil, diantaranya:

Firman Allah SWT :

وَلتَكُن مِنكُم أُمَّةٌ يَدعونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأمُرونَ بِالمَعروفِ وَيَنهَونَ عَنِ المُنكَرِ ۚ وَأُولٰئِكَ هُمُ المُفلِحونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Ali-Imran: 104)

Pada ayat ini, lafal مِنْ adalah untuk “bayan wa tabyin (penjelasan) bukan untuk “tab’idh” (pembagian), sehingga kata minkum diartikan “kamu semua” bukan “sebagian dari kamu” dan juga karena disebabkan karena adanya qarinah lain selanjutnya, sehingga ayat ini menurut mereka adalah arahan seruannya (untuk dakwah) kepada semua orang mukalaf. Karena itu, dakwah diwajibkan kepada setiap undividu muslim sesuai dengan kemampuannya. Fakhr al-Din al-Razi mengemukakan pendapatnya dengan memaparkan alasan rasional bahwa setiap orang diwajibkan menjauhi semua hal yang membahayakan keselamtan dirinya. Karenanya, ia mengartikan surat Ali-Imran ayat 104 sebagai berikut: “Jadilah kalian sebagai para pendakwah kepada kebajikan, sebagai orang-orang yang memrintahkan hal yang makruf, dan sebagai orang-orang yang melarang kemungkaran”.

Firman Allah SWT :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ للنَّاسِ تأْمُرُوْنَ بالْمَعْرُوْفِ وتَنْهَوْنَ عنِ الْمُنْكَرِ وتُؤْمِنُوْنَ بالله

kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.(QS. Ali Imran: 110)

Ayat dakwah ini bersifat umum, sehingga menjadi salah satu karakteristik umum orang muslim, maka dakwah wajib kepada mereka semua.

Sabda Rasululah SAW:

من رأي منكم منكراُ فليغيّرْه بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

Barang siapa melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bias maka dengan lisannya, dan jika tidak bias juga maka dengan hatinya. Demikian itulah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)

Kata مَنْ (barangsiapa) dalam hadis ini merupakan lafal umum sehingga hokum yang dikandungnya juga bersifat umum (ke segenap kaum muslim).

Adapun para ulama yang berpendapat bahwa dakwah itu hukumnya fardhu kifayah, mereka mengemukakan argumentasi dan alasannya sebagaimana dapat dilihat berikut ini:

Firman Allah SWT:

` وَلتَكُن مِنكُم أُمَّةٌ يَدعونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأمُرونَ بِالمَعروفِ وَيَنهَونَ عَنِ المُنكَرِ ۚ وَأُولٰئِكَ هُمُ المُفلِحونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Ali-Imran: 104)

Kata مِنْ pada ayat ini memiliki arti “tab’idh” (sebagian), yakni dengan adanya qarinah-qarinah dalil-dalil berikutnya. Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa kewajiban dakwah adalah fardhu kifayah. Sebagai fardhu kifayah, dakwah hanya dibebankan atas orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan di bidang agama Islam. Al-Ghazali memaparkan argumentasinya dengan mengatakan:

ففي الأية بيان الإجاب فإن قوله تعالي ولتكن أمر وظاهر الأمر الإيجاب وفيها بيان أن الفلاح منوط به إذ حصر وقال وأولئك هم المفلحون وفيها بيان أنه فرض كفاية لافرض عين وأنه إذا قام به أمة سقط الفرض عن الأخرين إذ لم يقل كونوا كلكم آمرين بالمعروف بل قال ولتكن منكم أمة فإذا مهما قام به واحد أو جماعة سقط الحرج عن الآخرين والختص الفلاح بالفائمين به المباشرين وإن تقاعد عنه الخلق أجمعون عم الحرج كافة القادرين عليه لا محالة.

“Dalam ayat tersebut terdapat penjelasan kewajiban. Firman Allah SWT yang berbunyi “Hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru…..(QS. Ali Imran: 104)”, merupakan sebuah perintah. Pada dasarnya perintah adalah kewajiban. Dalam ayat itu ada penjelasan bahwa kebahagiaan terkait dengan kewajiban apabila ia dilaksanakan. Firman Allah, “Mereka adalah orang-orang yang berbahagia”, merupakan penjelasan bahwa kewajiban itu adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Karenanya, jika dakwah telah dilaksanakan oleh suatu kelompok, maka kewajiban umat yang lain menjadi gugur. Allah tidak berfirman, “jadilah masing-masing kalian semua sebagai orang-orang yang memerintahkan ma’ruf”, bahkan berfirman, “Hendaklah di antara kalian ada suatu kelompok”. Manakala ada seorang atau kelompok yang telah melaksanakannya, maka orang lain tidak menanggung dosa. Kebahagiaan tertentu pada orang-orang yang melaksanakannya dengan gembira. Jika semua orang duduk saja (tidak melaksanakan dakwah), maka sudah pasti dosanya akan dipikul oleh semua orang yang memiliki kemampuan (berdakwah).

Quraish Shihab berpendapat, “Karena itu adalah lebih tepat mengartikan kata minkum pada ayat di atas dengan “sebagian dari kamu” tanpa menafikan kewajiban setiap muslim untuk saling mengingatkan. Ibnu katsir mengatakan, “Maksud ayat ini adalah agar ada kelompok dari umat ini yang bersedia untuk berdakwah, meskipun perintah itu wajib bagi setiap individu dari umat Islam sesuai dengan kemampuannya”.

Argumentasi rasional (dalil al-aqly) yang diajukan lebih lanjut adalah bahwa dakwah untuk mengajarkan kebajikan memerlukan pengetahuan tentang kebaikan itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang tidak memahami dan membedakan kebaikan dan keburukan menurut Islam bias berdakwah. Tentu dakwah bagi orang yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam akan justru menyesatkan.

Dalil selanjutnya, Firman Allah SWT At-Taubah ayat 122:

وَما كانَ المُؤْمِنُوْنَ لِينِفِرُوْا كافةً فلوْ لاَ نَفَرَ منْ كلِّ فِرْقَةٍ منْهمْ طائِفةٌ ليتفقَّهُوْا في الدّيْنِ ولِينْذِرُوْا قوْمَهُمْ إذا رَجَعوْا إِليْهمْ لعلَّهُمْ يحْذَرُوْنَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Dari kedua pendapat tentang kewajiban berdakwah di atas, ada beberapa ulama yang memadukan keduanya, hukum berdakwah adalah fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Pendapat ini dipelopori oleh Muhammad Abu Zahrah. Menurut beliau, fardhu ‘ain melakukan dakwah secara individual (al-ahad) dan fardhu kifayah melakukan dakwah dalam dakwah kolektif (al-jama’at). Setiap orang berkewajiban untuk melakukan dakwah individual. Kendati demikian, di kalangan umat Islam harus ada tenaga ahli yang berkaitan dengan dakwah Islam.

Menurut Muhammad Abu al-Fath Al-bayanuniy,”Ulama yang menyatakan fardhu ‘ain memberikan persyaratan kemampuan berdakwah, sedangkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah menekankan keharusan ada di antara umat yang memikul kewajiban tersebut. Umat yang dimaksud adalah para ulama. Para ulama tidak diragukan lagi memiliki kemampuan untuk berdakwah. Jika ada orang yang melakukannya, maka terlepaslah kewajiban berdakwah bagi orang lain. Hukum berdakwah pun berubah menjadi sunah. Dengan demikian, tidak wajib dakwah bagi orang yang tidak mampu. Kemampuan utama bagi seorang pendakwah adalah keilmuan agama. Seorang Muslim yang tidak memiliki pengetahuan Islam yang cukup tidak terbebani kewajiban dakwah.

Meskipun kewajiban gugur dengan adanya pelaksanaan oleh sebagian yang memenuhi syarat (kifayah), maka masih tetap (sisa) hukum sunah (anjuran). Karena itu, semua orang muslim dianjurkan (sunah) melaksanakan dakwah dengan dasar Firman Allah SWT:

وَمَنْ أَحْسَن قَوْلاُ مّمّنْ دعَا إليْ الله وعَملَ صالحًا وقالَ إنّنيْ منَ الْمسلميْنَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?”(QS. Fushilat: 33)

Berkaitan dengan hukum berdakwah, alangkah baiknya kita memerhatikan dua tahapan dakwah yang tersirat dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2, yaitu:

هُوَ الّذيْ بَعَثَ في الأُمِّيِّيْنَ رسُولاً مِّنْهمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ والْحِكْمَةَ وإنْ كَانوْا منْ قَبْلُ لَفيْ ضلالٍ مُّبِيْنٍ

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Tahapan pertama adalah tabligh, yakni memperkenalkan Islam kepada non-muslim atau kepada masyarakat awam, agar tertarik masuk agama Islam atau menjadi muslim yang taat (yat-lu ‘alaihim ayatihi) .

Tahapan kedua adalah pembinaan umat Islam. Tahapan ini terbagi menjadi dua macam. Pertama, membersihkan kebiasaan lama yang buruk dan menyucikannya dengan kebiasaan yang baik (wa yuzakkiihim). Kedua, mengajarkan kandungan kitab suci Al-Quran dan Hadis Nabi SAW. (wa yu’allimuhum al-kitab wa al-hikmah).

*Dirangkum dari buku Ilmu Dakwah Prinsip dan Kode Etik Berdakwah Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah terjemahan dari buku Al-Madkhal Ila ‘Ilmi Ad-Dakwah karya Syekh Muahmmad Abu Al-Fath Al-bayanuniy, dan dari buku Ilmu Dakwah karya Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. tentang Hukum Berdakwah.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan