Ahad, 30 Ogos 2015

[ 29082015 ]Habib Muhammad Amr - Asal Usul Nabi Ibrahim AS ..... di Masjid Bkt Antarabangsa Ampang



Nabi Ibrahim adalah putra Aazar (Tarih) bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aabir bin Shalih bin Afrakhsyad bin Saam bin Nuh (baca Kisah Nabi Nuh AS). Nabi Ibrahim dilahirkan disebuah tempat bernama Faddam A’ram yang termasuk wilayah kerajaan Babilon. Kerajaan Babilon pada waktu itu diperintah oleh seorang raja yang bengis dan mempunyai kekuasaan absolute yaitu Namrud. Ia seorang raja yang tidak mau lengser dan ingin berkuasa terus-menerus bahkan ingin hidup terus-menerus. Karena itu ia tak segan-segan untuk membodohi rakyatnya agar menyembah berhala. Bahkan ia juga memproklamirkan dirinya sebagai salah satu Tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. Sehingga segala perintahnya tak ada yang berani membangkang.

Sebelum Nabi Ibrahim lahir, raja Namrud pernah bermimpi melihat seorang anak lelaki melompat masuk ke dalam kamarnya lalu merampas mahkota dan menghancurkannya. Esok harinya ia memanggil tukang ramal dan tukang tenung untuk menafsirkan mimpinya itu. Menurut tukang ramal, anak laki-laki dalam mimpi sang raja itu kelak akan meruntuhkan kekuasaan sang raja. Tentu saja raja namrud murka. Ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru saja lahir. Ketika Ibrahim lahir, kedua orang tuanya bersembunyi di dalam gua. Sejak bayi hingga menginjak remaja ia dibesarkan di dalam gua. Ia tidak pernah melihat dunia luar.

Ibrahim Mempergunakan Akalnya untuk berpikir

Rasa ingin tahu merasuki jiwa Ibrahim, selama ini ia hanya melihat bongkahan batu dan tanah di dalam gua. Ketika ibunya sedang pergi ke kota mencari makanan, ia pun mencoba keluar gua. Begitu menapakkan kakinya di luar gua, Ibrahim tercengang. Ia benar-benar takjub melihat alam yang sangat luas, gunung-gunung menjulang tinggi, langit biru terbentang luas, ombak laut berkejar-kejaran. Di siang hari ia melihat cerahnya mentari, di malam hari ia melihat sinar bulan yang menerangi malam.

Sejak kecil Nabi Ibrahim sudah mendapat petunjuk dari Tuhan, ia merasa heran melihat orang-orang yang menyembah patung padahal patung-patung itu tak bisa bicara, tak bisa melihat, tak bisa mendengar dan tak bisa memberikan pertolongan. Mengapa mereka menyembah benda mati ?” demikian pertanyaan yang timbul di benak Ibrahim. Jika ia bertemu dengan unta, kambing dan domba-domba selalu bergolak pertanyaan dalam hatinya, siapakah yang menciptakan semua itu ?

Ibrahim ingin mencari siapakah yang berkuasa atas semua ini, siapakah seharusnya yang pantas dijadikan Tuhan dan wajib disembah ? Ketika malam tiba, ia melihat bulan dan bintang-bintang, namun bulan itu akhirnya tenggelam tak tampak lagi. Pada siang hari ia melihat matahari, namun disenja hari matahari itu juga tenggelam tak Nampak lagi. Ibrahim berkata dalam hatinya : “Aku tidak suka bertuhan yang tenggelam itu.” Akhirnya Ibrahim dapat menemukan kesimpulan, akal pikirannya yang masih suci bersih itu memutuskan bahwa Tuhan adalah Yang menciptakan semua alam ini. Berkata dalam hatinya : “Tuhanku adalah yang menciptakan langit dan bumi, Tuhanku yang menciptakan manusia, tetumbuhan, hewan dan apa-apa saja yang terdapat di muka bumi ini.

Ibrahim bergaul dengan kaumnya

Sesudah dewasa dan berita tentang pembunuhan bayi-bayi sudah sirna. Ibrahim diijinkan kedua orang tuanya keluar dari gua untuk hidup ditengah-tengah masyarakat. Kesedihan menggoroti hatinya, ternyata masyarakat disekitarnya sudah bobrok mental dan akhlaknya. Akal pikiran mereka benar-benar sudah tumpul sehingga patung dan batu-batu bergambar mereka jadikan Tuhan yang disembah-sembah. Ayah Ibrahim sendiri adalah tukang pembuat patung yang dijual ke masyarakat banyak, dan ayahnya juga menyembah patung yang dibuatnya sendiri.

Ibrahim kemudian mengadu kepada Tuhan : “Ya Tuhan, aku sedang menderita, derita batin. Aku melihat kemungkaran dan kesesatan, untuk apakah gerangan akal pikiran yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka ? Apakah akal pikiran itu hanya digunakan untuk mencari kekayaan dan berbuat kerusakan belaka. Oh Tuhanku, tunjukilah aku kalau Tuhan tidak menunjuki aku, sesungguhnya aku akan menjadi orang yang tersesat dan berbuat aniaya.

Lalu Allah memberikan petunjuk kepadanya, ia diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Ia diberi Wahyu sehingga keyakinan tentang adanya Tuhan bukan sekedar kesimpulan akal pikirannya belaka melainkan berasal dari ketetapan Tuhan. Allah mengajarkan segala rahasia yang ada di balik alam nyata ini, bahwa di balik alam nyata ini ada juga alam ghaib. Setiap manusia yang mati kelak akan dibangkitkan lagi di alam akhirat.

Ibrahim Meyakinkan Dirinya

Nabi Ibrahim sebenarnya sudah percaya akan adanya hari pembalasan di akhirat. Pada suatu hari ia ingin memperoleh petunjuk yang lebih nyata dan meyakinkan hatinya. Maka berdoalah ia kepada Tuhan : “Ya, Tuhanku perlihatkanlah kepadaku, bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah menjawab permintaan Ibrahim itu dengan sebuah pertanyaan : “Apakah kamu belum percaya Ibrahim ?” Nabi Ibrahim menjawab : “Saya telah percaya tetapi supaya bertambah yakin hati saya.”

Tuhan kemudian memerintahkan Ibrahim mengambil empat ekor burung. Keempatnya dipotong-potong dan tubuhnya dicerai beraikan atau dipisah-pisahkan. Potong-potongan kecil dari keempat burung itu dilumatkan kemudian dijadikan empat onggok masing-masing onggokan diletakan di puncak empat bukit yang letaknya berjauhan. Ibrahim kemudian diperintahkan mengambil burung-burung yang sudah hancur tadi. Tiba-tiba saja burung itu hidup lagi seperti sedia kala dan menghampiri Nabi Ibrahim.

Kini bertambah yakinlah Ibrahim akan kekuasaan Allah yang menghidupkan sesuatu yang sudah mati. Allah kemudian berfirman kepada Ibrahim : “Demikian pula Aku akan membangkitkan manusia yang sudah mati untuk dihidupkan di alam akhirat, dan akan dihisap amal perbuatannya sewaktu di dunia. Dan semua manusia akan menerima balasannya sendiri-sendiri”.

Ajakan kepada Ayahnya Meninggalkan Berhala

Sebelum Nabi Ibrahim mengajak kaumnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala, pertama kali yang diajaknya menyembah Allah adalah ayahnya sendiri. Ayah Ibrahim yang bernama Aazar adalah pembuat patung berhala, ia memperingatkan ayahnya dengan bahasa yang lemah lembut penuh kesopanan : “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun ? Wahai ayahku, sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang diberikan Allah dan tidak mungkin diberikan kepadamu. Maka ikutilah nasihat-nasihatku, nsicaya akan menunjukan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku kuatir engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka engkau akan menjadi kawan dari setan.”

Tapi ayahnya tidak mau mengikuti ajakan Ibrahim. Berkata ayahnya, “Bencikah kamu terhadap Tuhanku, Ibrahim ? Jika kamu tidak berhenti mengajakku niscaya aku akan merajammu. Tinggalkanlah aku buat waktu yang lama. Karena ayahnya tidak mau mengikuti ajakannya ia hanya berkata : “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu pada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik padaku. Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Dan aku akan berdoa kepada Tuhanku. Mudah-mudahan aku tidak kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.”

Doa atau permohonan Nabi Ibrahim untuk ayahnya tak lain adalah karena kasih sayangnya selaku anak kepada ayahnya. Namun setelah Allah menerangkan bahwa ayah Ibrahim adalah musuh Allah maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Tak ada beban moral lagi selaku anak kepada ayahnya seperti tersebut dalam Al-Qur’an : “Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang lembut hatinya lagi penyantun.”

Nabi Ibrahim Menghancurkan Berhala-berhala

Nabi Ibrahim adalah seorang cerdas dan ahli logika serta strategi yang ulung, ia ingin berdialog dengan Raja Namrud di hadapan orang banyak dengan cara ia hancurkan lebih dulu berhala-berhala yang menjadi sesembahan Raja Namrud dan rakyatnya. Hal itu ia lakukan ketika sang raja dan semua rakyat sedang berpesta hari raya dengan berburu di tengah hutan. Disaat rumah penyembahan berhala kosong maka Ibrahim masuk membawa kapak. Berhala-berhala kecil dan sedang dihancurkannya, lalu kapak yang dibawanya itu diletakkan di leher berhala yang paling besar.

Raja Namrud dan pengikutnya kembali dari perburuan dengan wajah gembira. Mereka akan mengadakan pesta pora sambil menyembah berhala diruang pemujaan. Namun betapa terkejut mereka saat melihat berhala-berhala itu telah cerai berai. “Kurang ajar siapa yang berani menghancurkan berhala kita ? “Raja Namrud meluapkan amarahnya. Tidak seorang pun menjawab, namun ada seorang saksi yang melihat bahwa hanya Ibrahim saja yang tidak ikut berburu ke hutan dengan alas an perutnya sakit. “Tangkap dia dan bawa ke hadapanku !” Perintah Raja Namrud. Ibrahim kemudian ditangkap, dalihnya karena hanya ia seorang yang tidak ikut keluar kota untuk berburu hewan. Pastilah ia yang melakukan penghancuran ini.

Ia dibawa ke hadapan Raja Namrud, disaksikan rakyat banyak ia diinterogasi. Ibrahim tersenyum, memang inilah yang diharapkannya. Bertanya Raja namrud : “Apakah kamu yang menghancurkan berhala-berhala itu ?” Bukan ! “jawab Ibrahim. “Ibrahim ! Sergah Raja Namrud. “Cukup banyak bukti yang menunjukkan kaulah pelakunya. Tak usah mungkir !” Bukan aku pelakunya ! Jawab Ibrahim untuk memancing emosi Raja Namrud. Ia ingin mengajak dialog raja itu.

Baiklah Raja Namrud, “kata Ibrahim, “saya punya pikiran, kamu juga punya pikiran. Kalau mau mencari tahu siapa pelaku penghancuran berhala-berhala itu maka tanyakanlah kepada berhala yang paling besar itu. Bukankah kapak itu menggantung di lehernya, berarti berhala paling besar itu pelakunya.raja Namrud berang mendengar ucapan itu : “Hai Ibrahim kau sungguh bodoh ? dimana otakmu ? masak patung seperti itu akan saya ajak bicara mana mungkin dia bias bicara ? Kau jangan mengada ngada !

“Hai Raja namrud ! Kata Ibrahim dengan lantangnya, siapa sebenarnya yang bodoh. Mengapa patung yang tak dapat bicara dan bergerak kau jadikan Tuhan yang harus disembah. Mengapa patung dan berhala yang tak dapat melindungi dirinya itu kalian puja-puja, bukanlah ini kebodohan yang teramat sangat ?” Raja Namrud dan pengikutnya terdiam mendengar jawaban Ibrahim itu. Sebagian masyarakat akalnya sehat membenarkan ucapan Nabi Ibrahim itu, namun mana berani mereka angkat bicara. Sementara Raja Namrud dan pengikutnya tak dapat membantah. Hanya amarah yang timbul di hatinya, dan langsung Raja Namrud memerintahkan Ibrahim untuk ditangkap dan diikat.

Apa hukuman yang pantas dijatuhkan untuknya ? Taya Raja Namrud kepada para penasihatnya. Bakar ! bakar saja dia sampai mati ! jawab para penasihat kerajaan. Kayu-kayu segera dikumpulkan, Ibrahim diletakkan di atasnya dalam keadaan terikat kemudian dibakarlah ia hingga kayu yang bertumpuk-tumpuk itu habis. Raja Namrud dan rakyatnya mengira Ibrahim akan hangus menjadi abu. Namun setelah api itu padam Ibrahim masih segar bugar. Itulah mujizat Nabi Ibrahim. Tak mempan terbakar.

Dialog Ibrahim dengan Raja namrud

Sesudah Ibrahim dibakar tidak mati, sebenarnya banyak rakyat yang mau mengikuti ajarannya. Tapi karena takut pada ancaman Raja Namrud, maka mereka masih banyak yang kafir. Nabi Ibrahim pun meneruskan dakwahnya untuk mengajak manusia hanya menyembah Allah. Hal ini membuat murka Raja namrud. Suatu hari Nabi Ibrahim dipanggil menghadap ke istana Raja Namrud. Engkau telah menyebarkan fitnah yang jahat sekali, “Kata Raja Namrud, “Adakah Tuhan selain aku ? Akulah Tuhan yang harus kamu sembah. Aku dapat megatur dan merusak segala-galanya. Siapakah yang lebih tinggi kekuasaannya dari pada aku ? Hukum yang kutetapkan mesti berlaku, keputusanku pasti berjalan. Semua orang tunduk kepadaku, mengapa kau menantangku ?”

Dengan tenang Ibrahim menjawab : Tuhanku adalah Allah. Dialah yang kusembah, dia telah menciptakan kamu dan aku yang asalnya tidak ada. Ia sanggup mematikan dan menghidupkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Ia adalah pencipta langit dan bumi. Raja Namrud menyanggah jawaban Ibrahim itu dengan pendapatnya yang konyol “ “Aku juga bias menghidupkan dan mematikan. Benarkah ? Tanya Nabi Ibrahim. Raja namrud kemudian memerintahkan pengawal untuk megeluarkan dua orang narapidana. Kemudian Namrud mengambil pedang, salah seorang dari narapidana itu dipenggal lehernya sampai mati, seorang lagi diampuni, dibiarkan hidup. Lalu Namrud berkata : “Begitulah caranya aku menghidupkan dan mematikan.”

“Itu bukan mematikan, melainkan membunuh dengan cara biadab dan kejam. “Kata Ibrahim, Tuhanku bias menjalankan matahari dari timur ke barat, jika kau memang berkuasa namrud, cobalah kau jalankan matahari itu dari barat ke timur !” Namrud terbungkam tak bias bicara. Tantangan Nabi Ibrahim benar-benar telah dijatuhkan oleh kecerdasan akal Ibrahim. Namrud terbungkam tak bisa bicara. Tantangan Nabi Ibrahim benar-benar membuatnya keok, tak bisa membantah lagi, ia benar-benar telah dijatuhkan oleh kecerdasan akal Nabi Ibrahim. Sejak saat itu Namrud menganggap Ibrahim sebagai musuh besarnya.

Ibrahim Hijrah ke Mesir

Karena Negeri babilon tidak aman lagi bagi Ibrahim dan istrinya maka ia memutuskan untuk pindah ke Syam (Palestina). Bersama Nabi Luth yang kemudian juga menjadi Nabi dan beberapa pengikutnya ia meninggalkan Babilon (baca Kisah Nabi Luth AS). Namun tidak berapa lama di Negeri Palestina diserang bahaya kelaparan dan penyakit menular. Ibrahim dan pengikutnya kemudian pindah ke Mesir. Mesir pada waktu itu diperintah oleh Raja kejam dan suka berbuat seenaknya. Raja Mesir suka merampas wanita-wanita cantik walapun wanita itu bersuami.

Ketika Raja Mesir mendengar bahwa Sarah adalah perempuan yang cantik maka Ibrahim dan Sarah dipanggil menghadap. Ibrahim berdebar, Raja Mesir memang mempunyai kebiasaan aneh, yaitu merampas istri orang yang berwajah cantik sekedar untuk menunjukkan betapa besar kekuasaannya, tak seorang pun berani menghalangi perbuatannya. Setelah menghadap Raja Mesir ia ditanya : “Siapakah perempuan itu ? “Saudaraku, “jawab Ibrahim, sengaja ia berbohong, sebab jika ia berkata terus terang tentu ia akan dibunuh Raja Mesir dan istrinya akan dirampas. Perbuatan Ibrahim ini menjadi kaidah, boleh berbohong dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya.

Nabi Ibrahim dan istrinya boleh tinggal di istana, pada suatu hari Sarah dapat menyembuhkan sakit Raja Mesir yaitu sepasang tangan Raja itu mengatup rapat tak dapat digerakkan, atas jasanya itu Sarah kemudian diberi hadiah seorang budak perempuan bernama Hajar. Dan dengan ikhlas hajar kemudian diberikan kepada Ibrahim untuk dijadikan Istri. Di Mesir, Ibrahim dapat hidup tentram dan makmur. Hartanya melimpah ruah. Tapi justru ini menjadikan iri hati bagi penduduk asli Mesir. Maka Ibrahim kemudian memutuskan kembali ke Palestina. Sejak saat itu Palestina dijadikan tempat tinggalnya. Di jadikan tanah airnya dan dijadikan tempat untuk menyembah Allah. Di Negeri Palestina itu Hajar melahirkan seorang anak lelaki yang bernama Ismail. Tak lama kemudian Sarah juga melahirkan anak laki-laki dan dinamakan Ishak.



Isnin, 24 Ogos 2015

Pohon Nabi adalah Pohon yang pernah menanungi Nabi Muhammad Saw. dari terik matahari.



Subhanallah...Satu-satunya sahabat nabi yang masih hidup dan akan terus hidup hingga hari kiamat...berapakah like ..
Posted by Suara FM on 18hb Mac 2014
POHON NABI

Yang dimaksud dengan Pohon Nabi adalah Pohon yang pernah menanungi Nabi Muhammad Saw. dari terik matahari. Pohon Nabi ini sudah berumur ribuan tahun, namun anehnya Pohon Nabi ini masih hidup dan berbuah hingga sekarang. Pohon Nabi ini sekali lagi menjadi bukti kenabian Nabi Muhammad Saw. Dan sepertinya Pohon Nabi ini sengaja dibiarkan hidup oleh Allah Swt. agar menjadi pengingat, kenangan dan bukti sejarah masa lalu. Pohon ini adalah pohon yang penuh keberkahan, pohon ajaib, pohon keramat dan pohon yang aneh.


Dulu ketika Rasulullah Saw. melakukan perjalanan menuju Syam bersama Maisarah (pembantu Sayyidatuna Khadijah Ra.) untuk berdagang, 
Rasulullah Saw. pernah berteduh di bawah pohon ini sebelum sampai ke sana. Pada saat Rasulullah Saw. berteduh di bawahnya, dahan dan ranting-ranting pohon ini bergerak menaungi beliau Saw. dari panasnya terik matahari.


Seorang rahib (pendeta) yang melihat kejadian ini, lantas mendatangi Maisarah dan menunjukkan kepadanya pohon tempat berteduh Rasulullah 
Saw. itu seraya berkata: “Hanya seorang Nabi saja yang berteduh di bawah pohon itu.”


Lihatlah sampai hari ini pohon tersebut tetap subur walaupun berada di tengah-tengah padang pasir yang kering kerontang serta tiada tumbuhan 
yang hidup sepertinya. Allah Swt. menghidupkannya dengan kehendaknya.

TAHUKAH ANDA APAKAH POHON INI ?


Inilah pohon yang memahami cinta buat Nabinya Muhammad SAW, Pohon yang diberkati.


Sehingga sekarang pokok ini masih hidup lagi di Jordan. Sebab itu ianya digelar “ the only living sahabi ” atau “sahabat Nabi yang masih hidup”.

Sedikit sejarah mengenainya…


Ketika Rasulullah SAW keluar ke Syam bersama Maisarah - pekerja Sayyidatuna Khadijah ra- untuk berniaga, Baginda SAW pernah berteduh di 
bawah pohon ini sebelum sampai ke sana.

Semasa Baginda SAW berteduh di bawahnya, dahan dan ranting-ranting pohon ini bergerak menaungi Baginda SAW daripada cahaya matahari.

Seorang paderi yang melihat kejadian ini datang bertemu Maisarah & menunjukkan kepadanya pohon tempat teduhan Rasulullah SAW itu dengan berkata: “Hanya seorang Nabi sahaja yang berteduh di bawah pohon ini.”



pohon ini terletak di tengah padang pasir bernama Buqa’awiyya di negara Jordan. Dari segi geografi, ia berdekatan dengan kota Bosra di Syria. 

Sebagaimana kita tahu, Rasulullah S.A.W dua kali tiba di Bosra :

1. Ketika bersama bapa saudaranya Abi Talib sewaktu berumur 12 tahun & bertemu dengan Rahib Buhaira dan terserlah tanda kerasulan baginda 

SAW di belakang bahu sepertimana tercatat dalam kitab injil tentang tanda kerasulan  nabi akhir zaman. 

2. kali kedua rasulullah SAW ke bosra membawa barang dagangan saidatina khadijah. Apa yg menarik selepas dari tanah Tabuk hingga ke Bosra 

Kelihatan Pohon Nabi SAW yang mampu hidup subur di tanah gersang padang pasir ini . . .
sejauh lebih 500km kita tidak akan berjumpa dengan pokok seumpama di atas. Lihatlah sampai hari ini ia tetap subur walaupun berada di tengah-tengah padang pasir yang kering kontang. Tiada tumbuhan yang boleh  hidup sepertinya. ALLAH menghidupkannya dengan kehendak-NYA jua.

Dan di dalam foto ini juga, Habib Umar Benhafidz seorang daripada keturunan Rasulullah SAW menziarahi pohon di mana Datuknya – Rasulullah 
SAW - pernah berada di situ.

SubhanAllah, Indahnya Ciptaan Allah

http://alamcyber.blogspot.com/2013/04/pohon-yang-menaungi-rasulullah-saw.html




Selasa, 18 Ogos 2015

Mestika Hadis J3 (13); Kelebihan Sedekah; Murah Rezeki, Tolak Bala, Panjang Umur, Mati Baik dll.

Para sahabat dan tabi’in serta para ulama ahli sunnah melarang mengambil ilmu dari ahli bid’ah.



Jika kita memperhatikan beberapa atsar dari para ulama salaf, tampak jelas peringatan mereka dalam menuntut ilmu dari ahli bid’ah.

Ali bin Thalib radiyallahu ‘anhu berkata,”Lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu karena ilmu adalah agama.” (At Tankil, Al Khatib Al Baghdadi, hal. 121). Pernyataan ini dinukil dari beberapa ulama salaf seperti Ibnu Sirin Adh Dhahak bin Muzahim dan yang lain. (Lihat Syarh Shahih Muslim, vol I, hal 14, Sunan Ad Darimi, vol. 1 hal 124).

Ibnu Umar radiyallahu anhuma berkata,”Berhati-hatilah terhadap agamamu, sebab dia adalah darah dagingmu. Lihatlah dari mana kamu mengambilnya. Ambillah dari orang istiqomah dan janganlah mengambil dari orang yang menyeleweng.” (Al Kifayah, hal 121).

Para sahabat dan tabi’in menekankan, agar kita mengambil ilmu dari orang yang istiqamah bukan dari para penyeleweng, karena ilmu dipelajari untuk diamalkan. Sedangkan ahli bid’ah tidak menanamkan kecuali perkara bid’ah. Bisa jadi para murid terpengaruh, baik dari sisi ilmu maupun pengalamannya. Sehingga sulit untuk diluruskan, apalagi bila belajarnya sejak masa kecil.

Salah seorang ulama Amr bin Qais Al Mala’i berkata, “Jika kamu melihat pemuda belajar sejak kecil kepada guru ahli sunnah berharaplah, dan bila belajar kepada ahli bid’ah, maka anda akan putus harapan.” (Al Ibanah Al Kubra, vol 1 hal 205 dan Al Ibanah Ash Shugra, hal. 133).

Ibnu Abdil Bar meriwayatkan pendapat Abdullah bin Mas’ud, “Manusia akan selalu dalam keadaan baik selama mau mengambil ilmu dari para pembesar mereka dan jika mereka mengambil dari Ashaghir dan buruk, mereka pasti hancur.” (Jami’ Bayan al Ilmi, hal 248).

Yang dimaksud Ashaghir adalah ahli bid’ah seperti yang diriwayatkan Ibnul Abdil Bar, bahwa Abdullah bin Mubarak ditanya, “Siapa Ashaghir itu ?”. Ia menjawab,”Orang yang berbicara dengan ra’yu (nalar). Adapun orang yang mengambil dari pembesar bukan termasuk Ashaghir.” (Jami’ Bayan al Ilmi, hal 246).

Dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, Al Lalika’i meriwayatkan perkataan Abdullah bin Mubarak,”Ashaghir adalah ahli bid’ah.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, vol 1 hal 85).

Imam Asy Syatibi memberi komentar ucapan Ibnu Mubarak, “Ashaghir lebih cocok untuk ahli bid’ah, karena keilmuan mereka sangat kerdil sehingga mereka menjadi ahli bid’ah.” (Al I’thisam, vol. 2 hal 174).

Berdasarkan atsar dari Ibnu Mas’ud di atas, dilarang mengambil ilmu dari ahli bid’ah karena bisa mendatangkan kerusakan. Fakta membuktikan banyak orang hancur dan rusak akibat berteman dan menuntut ilmu dari ahli bid’ah. Oleh karena itu, para ulama salaf sangat keras melarang duduk-duduk dengan mereka, berteman dan mendengar riwayat dari mereka. Tidak diragukan lagi, mengambil ucapan mereka penyebab utama kesesatan dan kerusakan.

Ibnu Abdil Barr menukil perkataan Imam Malik,”Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang; orang yang sangat dungu, ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ah, orang yang dikenal suka berdusta kepada manusia meskipun tidak mendustakan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan dari orang shalih yang tidak tahu status hadits yang diriwayatkan.” (Jami’ Bayan Al Ilmi, hal 348).

Begitu juga para sahabat dan tabi’in serta para ulama ahli sunnah melarang mengambil ilmu dari ahli bid’ah.

Imam an-Nawawi dalam menjelaskan macam-macam ghibah yang mubah,”Diantara ghibah yang mubah ketika seorang melihat orang alim sering mengunjungi ahli bid’ah atau fasik untuk mengambil ilmu dan dikhawatirkan akan memberi pengaruh buruk kepada orang alim tersebut, maka boleh bagi orang tersebut memberi nasihat dengan mengungkapkan pribadinya dengan syarat hanya untuk tujuan nasihat.” (Riyadhus Sholihin hal 350, Al Adzkar hal 304 dan Syarh Shahih Muslim, hal 16 & hal 143).

Pernyataan Imam an Nawawi mengisyaratkan, larangan mengambil ilmu dari ahli bid’ah, sehingga ketika ada seorang alim sering berkunjung kepada seorang ahli bid’ah harus diperingatkan, meskipun dengan cara ghibah.

Imam Adz Dzahabi berkata,”Jika ada seorang ahli kalam yang juga ahli bid’ah berkata,”Jauhkan kami dari Al Quran dan As Sunnah dan pakailah akal,” maka ketahuilah dia adalah Abu Jahal. Bila ahli suluk berkata,”Tinggalkan naql dan akal, pakailah dzauq (perasaan) dan wajd (misteri dalam ibadah), maka ketahuilah dia adalah iblis dalam bentuk manusia. Jika dia mendekatimu, larilah atau perangi hingga kalah dan bacakanlah ayat kursi lalu cekiklah.” (Siyar ‘Alam an Nubala vol 4, hal 472).

Fatwa ulama Syam, Mesir dan Maroko,”Para ulama mujtahid berijma’, dilarang mengambil ilmu dari ahli bid’ah. Zina adalah dosa besar, namun lebih ringan daripada orang yang bertanya tentang masalah agama kepada ahli bid’ah.” (Fatawa Aimmah al Muslimin bi Qath’i al Lisan al Mubtadi’in hal 131).

Fatwa ulama’ Maroko berbunyi,”Setiap muslim harus beramal sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah. Setiap orang yang benci sunnah berarti kafir, maka harus dijauhi. Bila seorang ulama berbuat bid’ah harus dijauhi dan tidak boleh diambil ilmunya karena akan merusak agama.” (Fatawa Aimmah al Muslimin, hal 61).

Syaikh Salim al Hilali berkata,”Ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ah, berhak untuk mendapat sanksi agar tidak membahayakan orang lain. Jika dia seorang mujtahid, paling tidak boleh diberi kedudukan dalam agama serta tidak boleh diambil ilmu dan fatwanya.” (Al Bid’ah wa Atsaruha As Sayyi’ fil Ummah, hal 51).

Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid berkata,”Berhati-hatilah dengan seorang Abu Jahal dan ahli bid’ah yang berakidah sesat dan tertutupi oleh khurafat, menggunakan hawa nafsu dan akal untuk mengubah nash dan mengacak-acak hadits, sehingga Ibnu Mubarak menyebut mereka dengan sebutan Ashaghir.” (Al Jami’ li Akhlaq Ar Rawi wa Adab as Sami’ vol 1 hal 72).

Jika kamu dalam keadaan normal, janganlah mengambil ilmu dari Rafidhah [pengutuk Sahabat Rasulullah, red], Khawarij [penentang pemerintah muslim, red], Murji’ah, Qadriyyah [Penganut kepercayaan ttg taqdir yang menyimpang, red] atau Quburiyah [penyembah kuburan wali, red]. Cukup banyak pernyataan ulama agar ahli sunnah menjauhi ahli bid’ah. Wahai para pelajar, jadilah orang yang bermanhaj salaf dan hati-hati terhadap fitnah ahli bid’ah. Mereka menggunakan ungkapan yang manis, rayuan yang menawan dan keramat yang penuh dengan tipuan. Namun semua sarat dengan kebid’ahan dan membutakan hati serta jiwa. Ambillah ilmu dari ahli sunnah tanpa ragu-ragu, karena ilmu mereka laksana madu dan pembawa harta waris para nabi.

Jadi, para ulama salaf telah membuat garis jelas tentang larangan mengambil ilmu dari ahli bid’ah, karena bisa menjadi sumber bibit fitnah dan kerusakan yang besar. (Hilyah Thalib al Ilmi, hal 28-30). Maka ahli sunnah dilarang untuk mengangkat dan memberi kepercayaan kepada ahli bid’ah untuk memegang lembaga pendidikan dan mengajar. Karena mereka akan menebar kesesatan kepada anak didik dan mendukung mereka untuk menyebarkan bid’ah ke tengah masyarakat.

Syaikh Hamud at Tuwaijiri berkata,”Mengangkat ahli bid’ah menjadi pengajar akan merusak anak didik dan dimanfaatkan untuk menyebarkan aqidah sesat, sehingga akhlaq mereka rusak dan tidak mengindahkan perintah dan larangan ALLAH.” (Tuhfah Al Ikhwan, hal 76).

Larangan di atas dalam keadaan normal. Namun boleh menggunakan mereka dalam situasi darurat, seperti tidak ada yang mampu mengajar spesialisasi ilmu tertentu kecuali ahli bid’ah dan untuk menjaga kemaslahatan pendidikan, dengan catatan tetap waspada dan tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Jika tidak mampu menegakkan kewajiban penyebaran ilmu dan jihad kecuali harus menggunakan jasa ahli bid’ah dan bahayanya lebih ringan daripada meninggalkan kewajiban tersebut, maka boleh meminta bantuan kepada mereka. Namun bila sebaliknya, para ulama berbeda pendapat.” (Majmu’ Fatawa vol 28 hal 212).

Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid berkata,”Bila beberapa kewajiban terlantar seperti pendidikan, jihad, kedokteran, arsitek dan semisalnya dan tidak mampu terpenuhi kecuali harus menggunakan jasa ahli bid’ah dan bahayanya lebih ringan daripada meninggalkan kewajiban tersebut, maka boleh meminta bantuan kepada mereka. (Hajr al Mubtadi hal 46).

Anjuran ulama di atas lebih tertuju kepada para pemimpin dan pihak yang berwenang. Umat, harus menaati para pemimpin dan pihak yang berwenang serta tetap belajar kepada guru yang telah diangkat oleh pemerintah dengan tetap berhati-hati dari para pengajar ahli bid’ah dan pengaruh buruk mereka, tanpa harus keluar dari menaati pemimpin karena dampaknya lebih buruk.

Bakar Abu Zaid, berkata,”Apa yang saya sebutkan di atas dalam keadaan normal, namun bila anda terikat dengan aturan pendidikan, hendaklah anda tetap berhati-hati dan menjaga diri dari keburukannya dan waspada atas segala syubhat. Ambillah yang bermanfaat dan tinggalkan apinya.” (Hilyah Thalih al Ilmi hal 31).

Jadi, boleh bagi pemimpin menggunakan ahli bid’ah sebagai pengajar dalam situasi terpaksa dan boleh memanfaatkan mereka pada lembaga pendidikan ketika aman dari fitnah dan tidak mendatangkan kerugian lebih besar.

Larangan mengambil ilmu dari ahli bid’ah ternyata memiliki dua maksud : Pertama : Dalam rangka menyelamatkan anak didik dari aqidah yang rusak, sebab bisa saja mereka terpengaruh ucapan dan tingkah laku pengajar dari kalangan ahli bid’ah.

Kedua : Bertujuan untuk memberi peringatan dan sanksi kepada ahli bid’ah. Ini berlaku hanya khusus bagi propangandis bid’ah, karena dia berhak untuk diberi peringatan agar sadar.

Syaikhul Islam berkata,”Pendapat ini hakikatnya adalah maksud dari pernyataan para ulama salaf yang melarang menerima kesaksian ahli bid’ah, shalat di belakangnya, mengambil ilmu dari mereka dan melangsungkan pernikahan dengan mereka sebagai sanksi agar kembali kepada Sunnah. Mereka membedakan antara propagandis bid’ah dengan yang bukan, karena yang berhak mendapat sanksi adalah ahli bid’ah yang menampakkan kebid’ahan. (Majmu’ Fatawa, vol 28 hal 205).

Jika menjauhkan ahli bid’ah dari lembaga pendidikan mengakibatkan kerugian lebih besar, maka tidak boleh menafikan kerugian kecil dengan kerugian yang lebih besar. Suatu contoh ketika ahli bid’ah berkuasa, bila tidak digunakan jasa mereka akan memberontak atau membuat kekacauan dalam negeri. Maka sangat tidak menafikan kerugian kecil berupa perekrutan mereka dengan kerugian yang lebih besar, yaitu tidak menggunakan jasa mereka.

Apabila memanfaatkan jasa ahli bid’ah dalam proses pendidikan tidak menimbulkan bahaya, misalnya mengajarkan mata pelajaran yang bukan ilmu syar’i seperti ilmu kedokteran, ilmu bangunan, atau ilmu pembuatan perangkat teknologi, karena mata pelajaran tersebut tidak membahayakan aqidah anak didik, maka boleh menjadikan mereka sebagai pengajar materi tersebut.

Mereka tidak dilarang mengajar mata pelajaran tersebut, kecuali hanya untuk memberi sanksi bila dia propagandis bid’ah dan diharapkan bisa sadar. Bila tindakan tersebut tidak bisa mengubah sikap ahli bid’ah, maka harus tetap diberi kesempatan mengajarkan mata kuliah tersebut bila dua tujuan di atas (memberi pengaruh negatif anak didik dan memberi sanksi) tidak terwujud.

Dengan demikian tampak sikap ahlusunnah dalam mengambil ilmu dari ahli bid’ah dan menggunakan jasa mereka dalam proses pendidikan, yang didukung dengan pernyataan para ulama Salaf dan para Imam sunnah.

Kesimpulan, para ulama salaf melarang mengambil ilmu dari ahli bid’ah karena khawatir anak didik akan terpengaruh oleh pemikiran dan gagasan para pengajar ahli bid’ah yang menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan dan kehancuran. Atau larangan tersebut untuk memberi sanksi dan peringatan keras kepada ahli bid’ah, agar sadar dan kembali kepada Sunnah. Namun dalam keadaan terpaksa, boleh menggunakan jasa mereka dalam proses pendidikan dengan syarat, tidak ada pengajar mata kuliah tersebut selain dia dan dikhawatirkan akan timbul kerugian yang lebih besar akibat meninggalkan ahli bid’ah dalam proses pendidikan tersebut.

Judul asli : Mauqif Ahlusunnah wal jama’ah min ahlil ahwa wal bida’, Maktabah al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H. Versi Indonesia : Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, hal 439 – 445. Penulis Dr Ibrahim bin Amir ar Ruhaili.

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah 22). (Tafsir Al Qurthubi 17/308).
Keimanan jelas menolak cinta kepada musuh Allah dan RasulNya. Namun Allah ingin memberi peringatan keras bagi orang yang mencintai musuh-musuh Allah dan RasulNya. Para ulama Salaf sangat membenci ahli bid’ah. Realisasinya, seorang ahli sunnah harus membenci ahli bid’ah dan kesesatannya, serta memusuhi mereka, tidak tinggal bersama mereka, tidak bersanding dan menyatakan permusuhan secara nyata dengan mereka.

Berikut sikap tegas Salafus Sholih, baik dari kalangan ulama Salaf dan khalaf. Sikap tegas ditunjukkan Ibnu Umar Rasiyalallahu ‘anhu ketika ditanya tentang orang yang mengingkari takdir, jawab beliau “Jika kamu bertemu dengan mereka, maka sampaikan kepadanya bahwa Ibnu Umar bersikap bara’ darinya dan mereka juga bara’ darinya, (sebanyak tiga kali).” (As Sunnah, Abdullah bin Ahmad, 2/420, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 2/588).

Juga sikap Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu,”Tidak ada orang yang paling aku benci di muka bumi ini, selain orang yang datang kepadaku mengajak berdebat dalam masalah takdir. Karena mereka tidak tahu secara persis takdir Allah. Sesungguhnya Allah tidak pantas ditanya tentang apa yang Dia lakukan dan merekalah (makhluk) yang justru ditanya.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal 213).

Ibnu ‘Aun berkata, “Tidak ada orang yang paling dibenci oleh Muhammad bin Sirrin daripada orang yang berbuat bid’ah dalam masalah takdir.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal 219).

Syu’bah berkata,”Sufyan Ats Tsauri sangat membenci ahli bid’ah dan melarang duduk-duduk bersama mereka.” (Mukhtashar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 460).

Imam Al Baghawi menukil ijma Ulama salaf dalam memusuhi dan menghindar dari ahli bid’ah, beliau berkata,”Para sahabat, tabi’in dan pengikut mereka serta para ulama ahli sunnah sepakat dan ijma’ dalam memusuhi dan menghindari ahli bid’ah (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 1/131).

Hasan Al Bashri berkata,”Janganlah kalian beramah-tamah, mengajak berdebat dan mendengar kebid’ahan ahli ahwa / pengikut hawa nafsu”.

Abu Jauza’ berkata,”Lebih baik saya bertetangga dengan kera dan babi daripada bertetangga dengan manusia dari ahli bid’ah”.

Fudhail bin Iyadh berkata,”Saya sangat berharap diantara aku dengan ahli bid’ah ada tembok penghalang dari besi. Saya makan bersama orang Yahudi dan Nashrani, lebih baik daripada makan bersama ahli bid’ah”. (Al Ibanah al Kubra, 2/467 dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 1/131).

Imam al Baghowi menukil riwayat bahwa para sahabat dan tab’in serta ulama sunnah telah berijma’ (bersepakat, red) dan sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memutuskan hubungan dengan mereka. (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 2/638).

Demikian pula para ulama khalaf yang berijma’ untuk membenci dan memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah. Sikap tersebut menjadi ketetapan baku ahli sunnah dan kesepakatan ulama salaf. (Syarh as Sunnah, Al Baghawi 1/227).

Syaikh Ismail Ash Shobuni ketika mensifati akidah salaf dan ahli hadits berkata,”Mereka sangat memebnci ahli bid’ah karen mereka mengada-ada perkara baru dalam agama, tidak mencintai mereka, tidak mau menjadi sahabat mereka, tidak mendengar ucapan mereka, tidak duduk-duduk bersama mereka dan tidak nberdebat dengan mereka dalam masalah agama, serta sangat menjaga telinga dari kebatilan mereka. Sebab bila masuk ke telinga dapat merusak hati dan menimbulkan was-was.” (Aqidah Salaf wa Ashabul Hadits 1/131).

Imam Al Qurthubi menukil dari Ibnu Khuwaiz bin Mindad dalam Tafsirnya,”Barang siapa yang berbicara tentang ayat-ayat Allah tanpa ilmu, saya tidak mau duduk-duduk bersamanya dan memutuskan hubungan dengannya baik orang mukmin atau kafir. Begitu juga para rekan kami melarang masuk ke daerah musuh, gereja/tempat peribadatan orang kafir, duduk-duduk bersama orang kafir dan ahli bid’ah, tidak boleh mencintai mereka, tidak boleh mendengar ucapan mereka dan berdebat dengan mereka.” (Tafsir Al Qurtubi 7/13).

Asy Syatibi berkata, “Firqah Najiyah adalah ahli sunnah yang diperintah untuk memusuhi ahli bid’ah, mengusir dan memberi sanksi orang yang terpengaruhi, baik dengan hukuman mati atau selainnya. Dan para ulama melarang untuk berbicara dan duduk-duduk bersama mereka, sebagai bentuk permusuhan dan kebencian/” (Al I’thisam 1/120).

Syaikh Abullatif bin Abdurahman Asy Syaikh membuat tahdzir (peringatan) kepada sebagian ahlu bid’ah dari Oman yang telah menulis selebaran yang dapat mengaburkan pemahaman orang awam. “Sudah menjadi ijma’ Ulama Salaf termasuk Imam Ahmad bin Hambal bahwa mereka bersikap keras kepada ahli bid’ah, memutuskan hubungan, membiarkan, tidak berdebat dan menjauhinya sebisa mungkin, lebih mendekat kepada Allah meskipun dibenci dan dimusuhi oleh ahli bid’ah.” (Majmu ar Rasail wa Al Masail Najdiya, 3/111).

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah menjauhi mereka, tidak mencintai mereka dan tidak berwala’ loyal kepada mereka, tidak mengucapkan salam, tidak berkunjung dan tidak menjenguk ketika mereka sakit. Memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah wajib, karena Allah berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah 22). Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah memutuskan hubungan dan tidak mengajak bicara Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ Al Amri dan Hilal bin Umaiyah al Waqifi ketika absen dari perang Tabuk (tanpa alasan syar’i, red).” (Syarh Lum’atul I’tiqad hal 110).

Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid memberi batasan cinta dan benci karena Allah dalam kitab Hajr al Mubtadi’,”Kaidah ini termasuk logika aqidah Islam berdasarkan nash-nash dari Al Quran dan Assunnah yang banyak. Karena merupakan bagian dari ibadah yang berpahala. Bara’ dari ahli bid’ah dan menyatakan permusuhan serta memberi pelajaran dengan memutuskan hubungan hingga mereka bertaubat, merupakan ketetapan hampir dalam semua kitab-kita aqidah ahli sunnah wal jama’ah.” (Hajr al Mubtadi’ hal 19).

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah tentang membenci dan menampakkan permusuhan kepada Ahli Bid’ah)

Sabtu, 15 Ogos 2015

Saiyidina Umar bin Al-Khattab RA pernah berkata: “Tiada Islam tanpa Jamaah, dan Jamaah tidak akan wujud tanpa kepimpinan, dan tidak wujud kepimpinan tanpa ketaatan.”



Wajib bergabung dengan Jamaah Islam - Ust Nasaruddin Daud

Sebab: Setiap muslim/muslimah wajib menyertai Jamaah Islam.

Tidak bersama Jamaah ( فارق الجماعة )adalah kesalahan besar di sisi Allah.

PAS adalah Jamaah Islam.

Dasar dan praktik PAS menepati ciri-ciri Jamaah Islam seperti yang dijelaskan di dalam Al-Quran dan Hadith.

Keterangan am:

Al-Quran dan Hadith memerintahkan setiap muslim dan muslimah supaya menyertai Jamaah Islam. Maksud Jamaah Islam ialah organisasi umat Islam yang 'berstruktur lengkap' seperti pertubuhan atau persatuan atau parti dalam konteks hari ini. Organisasi itu bergerak untuk mencapai cita-cita Islam yang menyeluruh (syumul) dengan menggunakan kaedah dan pendekatan dakwah yang diteladankan oleh Rasulullah SAW.

Iltizam (komitmen) kepada kerja-kerja organisasi ini disebut sebagai 'amal jamaie' yang disifatkan sebagai jihad di jalan Allah. Seorang muslim atau muslimah yang ikhlas dalam kesungguhannya melaksanakan tugasan ini, berpeluang untuk memperolehi darjat kematian syahid di sisi Allah.

Di antara dalil-dalil daripada Al-Quran dan Hadith yang membawa kepada rumusan tentang kewajiban menyertai Jamaah Islam, adalah seperti berikut:

Dalil 1:

ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولىْك هم المفلحون

"Dan hendaklah ada di kalangan kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam), dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji), dan mereka yang bersifat demikian itu adalah golongan yang berjaya."

Ali-'Imran: Ayat 104

Keterangan Ayat:

Ayat ini (Ali-'Imran 104) merupakan perintah utama tentang kewajiban membentuk atau menubuhkan Jamaah. Perkataan ولتكن منكم امة yang bererti 'hendaklah ada satu ummah di kalangan kamu' membawa maksud umat Islam 'mestilah' atau 'wajiblah' membentuk Jamaah di mana sahaja mereka berada.

Perkataan أمة (ummah) bermaksud جماعة (jamaah) atau طأىفة (to'ifah). Definisi semua perkataan ini ialah 'satu organisasi yang jelas strukturnya' seperti sebuah persatuan, pertubuhan atau parti yang wujud di mana-mana pun hari ini.

Maksud inilah juga yang dibawa oleh perkataan صفا (soffan) di dalam ayat berikut:

Dalil 2:

ان الله يحب الذين يقاتلون فى سبيله صفا كأنهم بنيان مرصوص

"Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang berperang (berjuang) untuk membela AgamaNya dalam saf yang teratur rapi, seolah-olah mereka sebuah bangunan yang tersusun kukuh." As-Saf: Ayat 4

Organisasi ini mestilah jelas misinya iaitu menyeru kepada kebajikan ( يدعون الى الخير ), menyuruh berbuat kebaikan ( يأمرون بالمعروف ) dan mencegah kemungkaran ( ينهون عن المنكر ). Nilai kebajikan, kebaikan dan kemungkaran itu mestilah mengikut ketetapan Al-Quran dan Hadith Nabi SAW.

Organisasi ini mestilah menjadikan Al-Quran dan Hadith (serta ijma' ulama' dan qiyas) sebagai dasar, pegangan, sumber rujukan dan penentu kepada segala-galanya.

Dalil 3:

عن حذيفة بن اليمان رضي الله عنه قال كان الناس يسىْلون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسْله عن الشر مخافة ان يدركني فقلت يا رسول الله انا كنا فى جاهلية وشر فجأناالله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر قال نعم فقلت هل بعد ذلك الشر من خير قال نعم وفيه دخن قلت ونا دخنه قال قوم يستنون بغير سنتى ويهدون بغير هديى تعرف منهم وتنكر فقلت هل بعد ذلك الخير من شر قال نعم دعاة على ابواب حهنم من اجابهم اليها قذفوه فيها فقلت يا رسول الله صفهم لنا قال قوم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا قلت يا رسول الله فما ترى ان ادركنى ذلك قال تلزم جماعة المسلمين وامامهم فقلت فان لم تكن لهم جماعة ولا امام قال فاعتزل تلك الفرق كلها ولو ان تعض على أصل شجرة حتى يدركك الموت وانت على ذلك

"Diriwayatkan daripada Huzaifah bin Al-Yaman RA, katanya: Manusia sering bertanya kepada Rasulullah SAW tentang amalan-amalan yang baik, tetapi aku telah bertanya tentang amalan-amalan jahat, kerana aku takut ia akan menimpa diriku, lalu aku bertanya: wahai Rasulullah! dahulu kami berada dalam kejahilan dan kejahatan, kemudian Allah mengurniakan kepada kami kebaikan ini (Islam yang datang melaluimu), adakah selepas kebaikan ini akan berlaku pula "kejahatan". Rasulullah menjawab "Ya".

Aku bertanya lagi: adakah akan berlaku pula datangnya kebaikan selepas era kejahatan itu? Rasulullah SAW menjawab "Ya, tetapi ketika itu terdapat kekurangan dan perselisihan". Aku bertanya: apakah yang dimaksudkan dengan kekurangan dan perselisihan itu? Rasulullah menjawab: iaitu satu kaum yang tidak beramal dengan sunnahku dan mereka mengikuti jalan yang lain dari jalanku. Di antara mereka itu ada yang kamu kenali dan ada yang tidak kamu mengenalinya.

Aku bertanya lagi: adakah kejahatan akan berlaku lagi selepas itu? Rasulullah SAW menjawab: Ya, ketika itu ramai yang menyeru manusia ke neraka jahannam. Sesiapa yang menyahut ajakan mereka, maka orang itu akan dicampakkan ke dalam neraka.

Aku berkata lagi: wahai Rasulullah, terangkan kepada kami tentang sifat mereka itu. Rasulullah SAW menjawab: baiklah, mereka adalah sebangsa dengan kita dan berbahasa seperti bahasa kita.

Aku bertanya lagi: wahai Rasulullah, apakah pendapatmu sekiranya aku masih hidup lagi ketika itu? Rasulullah SAW menjawab: hendaklah kamu bersama dengan Jamaah Islam dan mengikuti pemimpin mereka (pemimpin Jamaah Islam).

Aku bertanya lagi: bagaimanakah sekiranya ketika itu umat Islam tidak mempunyai Jamaah dan tiada pemimpin? Rasulullah SAW menjawab: hendaklah kamu memencilkan diri dari semua kumpulan yang ada (yang telah rosak iman dan akhlak mereka), walaupun akibatnya sehinggakan kamu terpaksa memakan akar-akar kayu (untuk meneruskan kehidupan) dan sehinggakan kamu mati kerananya namun kamu tetap dalam keadaan yang demikian (mempertahankan iman).

Keterangan Hadith:

Dalam Hadith ini Rasulullah SAW menggambarkan suasana dunia akhir zaman yang penuh dengan maksiat dan kezaliman. Keadaan itu digambarkan dengan kata-katanya "ramai yang menyeru manusia ke neraka jahannam".

Keadaan yang disebut oleh Rasulullah SAW itu sedang melingkari kehidupan kita hari ini. Seruan dan ajakan agar melakukan maksiat sememangnya berleluasa. Manusia yang mempertahankan iman dan menegakkan keperibadian Islam sentiasa dicemuh dan diganggu. Pelaku maksiat berbangga dengan cara hidup mereka yang menyanggah ketetapan Allah dan Rasul. Malah mereka bersungguh-sungguh mengajak orang ramai supaya hidup dengan cara mereka yang sesat. Dengan kata lain mereka menyeru ke neraka jahannam.

Oleh itu, apa yang perlu kita lakukan? Bagaimana kita nak menghadapi keadaan ini?

Rasulullah SAW telah memberikan jawaban yang sangat jelas di dalam Hadith ini, dengan katanya "hendaklah kamu bersama Jamaah Islam dan mengikuti pemimpin mereka (pemimpin Jamaah Islam)".

Ia bukan setakat syor atau cadangan daripada Rasulullah SAW, bahkan ia adalah perintah yang mesti dilaksanakan oleh setiap muslim dan muslimah. Para Ulama' Muhaddithin sepakat merumuskan bahawa Hadith ini merupakan salah satu dalil utama tentang kewajiban menyertai Jamaah Islam.

Sa'id Hawa di dalam kitabnya 'Jundullah Thaqafatan Wa Akhlaqan' menjelaskan bahawa hukum jihad untuk menumpaskan penyebab kemaksiatan yang merajalela ini adalah fardhu Ain. Ertinya, wajib bagi setiap manusia yang mengikrarkan dirinya muslim dan muslimah supaya berada di dalam saf mempertahan dan menegakkan Islam, sekaligus menggempur untuk menumpaskan penyeru ke neraka jahannam. Itulah jihad siyasi atau jihad politik yang dimaksudkan oleh Sa'id Hawa di dalam kitabnya.

Tanggungjawab tugasan ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang perseorangan secara persendirian, sebaliknya mestilah dilaksanakan secara bersama dalam satu kumpulan, secara tersusun dan terarah, dengan menggembelingkan potensi semua orang yang terlibat.

Itulah intisari perintah Rasulullah SAW تلزم جماعة المسلمين وءامامهم ketika menjawab soalan Huzaifah RA.

Oleh itu kita hanya ada satu pilihan. Tidak dua dan tidak tiga. Kita wajib menyertai Jamaah Islam yang melaksanakan misi amar makruf nahi mungkar berdasarkan wahyu dan sunnah. Kita wajib memberikan sepenuh komitmen kepada misi dan visi Jamaah Islam untuk menumpaskan golongan penyeru ke neraka Jahanam. Kita wajib istiqomah bersama Jamaah Islam walau apa pun risikonya, seperti sabda Nabi kepada Huzaifah “walaupun akibatnya sehinggakan kamu terpaksa memakan akar-akar kayu (untuk meneruskan kehidupan) dan sehinggakan kamu mati kerananya, namun kamu tetap dalam keadaan yang demikian (mempertahankan iman)”.

Dalil 4:

Saiyidina Umar bin Al-Khattab RA pernah berkata:

لا اسلام بلا جماعة ولا جماعة بلا امامة ولا امامة بلا طاعة

“Tiada Islam tanpa Jamaah, dan Jamaah tidak akan wujud tanpa kepimpinan, dan tidak wujud kepimpinan tanpa ketaatan.”

Kata-kata Saiyidina Umar ini merupakan penegasan yang kuat tentang kewajiban menyertai Jamaah Islam. “Tiada Islam tanpa Jamaah” boleh difahami dengan dua maksud, iaitu:

1. Tak kan tertegak Islam itu sebagai sistem hidup ( نظام الحياة ) yang benar-benar membawa rahmat kepada seluruh alam melainkan ia diusahakan oleh umat Islam secara jamaie (berorganisasi).

2. Tidak diiktiraf keIslaman seseorang itu melainkan dia bersama dengan Jamaah Islam (organisasi umat Islam yang memperjuangkan Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh). Sama ada kita meyakini maksud yang pertama atau yang kedua, kesimpulannya tetap sama iaitu wajib atas setiap muslim dan muslimah agar menyertai Jamaah Islam.

Seterusnya, Rasulullah SAW turut mengingatkan kita tentang ancaman Allah terhadap orang yang enggan menyertai Jamaah Islam atau orang yang lari meninggalkan Jamaah.

Dalil 5:

من فارق الجماعة قيد شبر فقد خلغ بربقة الاسلام من عنقه

“Sesiapa yang memisahkan dirinya daripada Jamaah, maka terlucutlah ikatan Islam dari lehernya.” ( Al-Hadith )

Keterangan Hadith : Ancaman di dalam Hadith ini lebih jelas dan lebih berat lagi. Kengganan menyertai Jamaah Islam atau tindakan meninggalkan Jamaah dikaitkan secara langsung dengan status keIslaman seseorang. Islam seseorang itu sah sekiranya dia bersama Jamaah Islam dan memberikan komitmen kepada pelaksanaan kerja serta matlamat Jamaah itu. Sebaliknya seseorang itu dikira ‘tidak Islam’ sekiranya dia tidak bersama Jamaah Islam, apatah lagi jika dia berpendirian berlawanan dengan Jamaah dan menentang Jamaah Islam.

Dalil 6 dan 7 :

Oleh kerana itulah Rasulullah SAW berulangkali mengingatkan umat Islam supaya sentiasa bersama-sama dengan Jamaah, dengan ungkapan sabdanya :

عليكم بالجماعة

“Hendaklah kamu bersama dengan jamaah” ( Al-Hadith )

عليكم بالجماعة والعامة والمسجد

“Hendaklah kamu bersama dengan Jamaah, mengambil berat urusan orang ramai dan mengimarahkan masjid” ( Al-Hadith )

Dalil 8 dan 9 :

اياكم والفرقة وعليكم بالجماعة فان الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين ابعد، من اراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة٠

“Janganlah kamu berpisah (daripada jamaah), dan hendaklah kamu bersama dengan jamaah (beriltizam), kerana sesungguhnya syaitan itu bersama orang yang menyendiri, manakala ia (syaitan) lebih menjauhkan diri daripada dua orang (yang bersama). Sesiapa yang inginkan kedudukan di tengah-tengah syurga, maka hendaklah ia beriltizam bersama jamaah.”

( Al-Hadith : riwayat Tirmizi, dalam Sunannya, 9:10 dari Hadith Ibnu Umar)

يد الله مع الجماعة

“Tangan (naungan, pertolongan dan keberkatan) Allah bersama dengan jamaah.” ( Al-Hadith : riwayat Tirmizi )

Dalil 10 :

وانا امركم بخمس امرنى بهن؛ بالجماعة والسمع والطاعة والهجرة والجهاد فى سبيل الله، فان من خرج من الجماعة قيد شبر فقد خلع ربقة الاسلام من عنقه الا ان يرجع٠ قالوا׃ يا رسول الله! وان صلى وصام؟ قال׃ وان صلى وصام وزعم انه مسلم٠

“Aku perintahkan kepadamu lima perkara yang telah diperintahkan oleh Allah kepadaku, iaitu: berjamaah, mendengar (perintah pemimpin umat atau pemimpin jamaah), mematuhinya, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah. Sesungguhnya orang yang keluar daripada jamaah sejauh hanya sejengkal, bererti dia telah melepaskan ikatan Islam daripada lehernya, sehinggalah dia kembali semula bersama jamaah.” Para Sahabat RA bertanya: “Wahai Rasulullah, (apakah begitu kedudukannya) walaupun dia solat dan berpuasa?” Baginda SAW menjawab: “(Ya), walaupun dia solat dan berpuasa, serta menyatakan bahawa dia seorang muslim.”

( Al-Hadith : riwayat Ahmad )

وانا امركم بخمس امرنى بهن؛ بالجماعة والسمع والطاعة والهجرة والجهاد فى سبيل الله، فان من خرج من الجماعة قيد شبر فقد خلع ربقة الاسلام من عنقه الا ان يرجع٠ قالوا׃ يا رسول الله! وان صلى وصام؟ قال׃ وان صلى وصام وزعم انه مسلم٠

“Aku perintahkan kepadamu lima perkara yang telah diperintahkan oleh Allah kepadaku, iaitu: berjamaah, mendengar (perintah pemimpin umat atau pemimpin jamaah), mematuhinya, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah. Sesungguhnya orang yang keluar daripada jamaah sejauh hanya sejengkal, bererti dia telah melepaskan ikatan Islam daripada lehernya, sehinggalah dia kembali semula bersama jamaah.” Para Sahabat RA bertanya: “Wahai Rasulullah, (apakah begitu kedudukannya) walaupun dia solat dan berpuasa?” Baginda SAW menjawab: “(Ya), walaupun dia solat dan berpuasa, serta menyatakan bahawa dia seorang muslim.”

( Al-Hadith : riwayat Ahmad )

Dalil 11:

من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية٠

“Sesiapa yang keluar daripada ketaatan dan meninggalkan jamaah, lalu dia mati (dalam keadaan itu), maka matinya adalah mati jahiliah….”

( Al-Hadith : riwayat Muslim,dalam Sahihnya,



Kitab Al-Imarah, 3:1476-1477, dari Hadith Abu Hurairah ) Dalil 12:

من فارق الجماعة شبرا فقد خلع ربقة الاسلام من عنقه٠

“Sesiapa yang meninggalkan jamaah hanya sejauh sejengkal, maka dia telah melucutkan ikatan Islam daripada lehernya.”

( Al-Hadith : riwayat Ahmad, Sahih Al-Jami’us Soghir, 5:326 )

Dalil 13 dan 14:

Rasulullah SAW juga memberikan amaran berikut:

من مات لم يغز ولم ينو الغزو فمات ميتة جاهلية

“Sesiapa yang mati (sedangkan sepanjang hidupnya) tidak pernah berperang (berjuang di jalan Allah) dan tidak pernah berniat untuk berperang (berjuang di jalan Allah), maka matinya adalah mati jahiliah”.

( Al-Hadith )

من مات لم يغز ولم ينو الغزو فمات على شعبة من النفاق

“Sesiapa yang mati (sedangkan sepanjang hidupnya) tidak pernah berperang (berjuang di jalan Allah) dan tidak pernah berniat untuk berperang (berjuang di jalan Allah), maka matinya adalah mati dalam salah satu cabang nifaq (munafiq)”.

( Al-Hadith )

Keterangan Hadith :

Apabila dikatakan bahawa kematian orang yang tidak berperang (berjuang di jalan Allah) adalah ‘mati jahiliah’ dan ‘mati seorang munafiq’ maka ianya bermaksud orang yang mati itu tidak diiktiraf keIslamannya. Pendek kata, dia bukan seorang Muslim di sisi Allah SWT.

Apa kaitannya dengan Jamaah Islam?

Berperang adalah urusan berkumpulan, sama ada bersama pasukan tentera yang dibentuk oleh negara Islam atau bersama pasukan yang ditubuhkan oleh umat Islam untuk berdepan dengan kezaliman dalam negara yang bukan negara Islam.

Peperangan tidak boleh berlaku dengan tindakan seorang diri. Ia adalah tindakan berkumpulan iaitu secara jama’ie. Dengan kata lain, peperangan adalah urusan Jamaah Islam yang bangkit berdepan dengan kezaliman musuh-musuh Allah SWT.

Orang yang berperang di jalan Allah ialah orang yang menyertai Jamaah Islam. Sebaliknya, orang yang enggan menyertai Jamaah Islam adalah orang yang enggan berperang di jalan Allah. Golongan inilah yang mati dalam keadaan jahiliah dan munafiq.

Apa kaitannya dengan PAS?

Seperti yang telah dinyatakan di sepanjang bab ini, PAS adalah Jamaah yang menepati ciri-ciri Jamaah Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Quran dan Hadith.

PAS melaksanakan kerja-kerja amar makruf nahi mungkar dan berdepan dengan golongan yang mengingkari serta memusuhi pelaksanaan Islam yang syumul.

Oleh itu, PAS berada di atas landasan ‘berperang’ ( الغزو ) di jalan Allah SWT, yang juga bermaksud ‘berjuang di jalan Allah’ seperti yang dituntut oleh Hadith ini.

Maka sepatutnya kita bertambah yakin bahawa kita wajib menyertai PAS supaya dapat berada di atas landasan ‘berperang’ di jalan Allah, lalu dengan itu terhindarlah kita daripada mati jahiliah dan mati munafiq. Dengan perkataan lain, kita dapat berada di atas landasan yang menuju ke arah mati sebagai seorang muslim.

Seterusnya di dalam surah At-Taubah, Allah memerintahkan hambanya supaya ‘berangkat’ melaksanakan tugasan pada jalanNya. Ia adalah tugas besar yang menuntut pengorbanan harta dan nyawa. Sekiranya kita meneliti ayat-ayat ini, semakin jelas kelihatan penekanan Allah tentang kewajiban menyertai Jamaah Islam.

Bersama dengan perintah itu, Allah SWT turut memberikan ancaman kepada hamba-hambanya yang enggan menunaikan perintah ‘berangkat’ ke jalanNya itu. Golongan yang ‘enggan berangkat’ itu diancam dengan azab siksa yang bersangatan pedihnya.

Dalil 15 :

يا ايها الذين امنوا ما لكم اذا قيل لكم انفروا فى سبيل الله اثاقلتم الى الارض ارضيتم بالحيا ة الدنيا من الاخرة فما متاع الحياة الدنيا فى الاخرة الا قليل. الا تنفروا يعذبكم عذابا اليما ويستبدل قوما غيركم ولا تضروه شيأ والله على كل شيء قدير

“Wahai orang-orang yang beriman! mengapa kamu, apabila dikatakan kepadamu : "Berangkatlah kamu berjuang di jalan Allah", kamu merasa keberatan (dan lebih suka tinggal menikmati kesenangan) di tempat (masing-masing)? Adakah kamu lebih suka kehidupan dunia ini berbanding kehidupan akhirat? (Kesukaan kamu itu salah, kerana) kenikmatan hidup di dunia ini hanya sedikit jua berbanding (kesenangan hidup) di akhirat kelak. ◊ Jika kamu tidak berangkat (untuk berjuang di jalan Allah - membela agamanya), Allah akan menyeksa kamu dengan azab seksa yang tidak terperi sakitnya, dan Dia akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat mendatangkan bahaya sedikitpun kepadaNya, dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”

( At-Taubah : ayat 38-39 )

Dalil 16:

.انفروا خفافا وثقالا وجاهدوا باموالكم وانفسكم فى سبيل الله ذلكم خير لكم ان كنتم تعلمون

“Berangkatlah kamu (untuk berjihad pada jalan Allah), sama ada dalam keadaan ringan (dan mudah bergerak) ataupun dalam keadaan berat (disebabkan pelbagai tanggungjawab); dan berjihadlah dengan harta benda dan jiwa kamu pada jalan Allah (untuk membela Islam). Yang demikian amatlah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui.”

( At-Taubah : ayat 41 )

Kita juga patut bimbang kehilangan status ‘iman’ dan bimbang terjerumus ke dalam golongan ‘fasiq’ akibat keengganan menyertai amal Islami bersama Jamaah Islam. Ayat-ayat berikut amat menggentarkan hati;

Dalil 17:

لا يستأذنك الذين يوء منون بالله واليوم الاخر ان يجاهدوا بأموالهم وأمفسهم والله عليم بالمتقين. انما يستأذنك الذين لا يوءمنون بالله واليوم الاخر وارتابت قلوبهم فهم فى ريبهم يترددون

“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak turut) berjihad dengan harta benda dan jiwa mereka, dan (ingatlah) Allah Maha mengetahui siapakah sebenarnya yang benar-benar bertaqwa. ◊ Sesungguhnya yang akan meminta izin daripadamu (wahai Muhammad) – (untuk tidak turut serta berjuang di jalan Allah) hanyalah orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hati mereka (sangat) ragu-ragu, oleh itu mereka sentiasa bingung teragak-agak dalam keraguan itu.”

( At-Taubah : ayat 44-45 )

Keterangan ayat :

Allah menegaskan bahawa orang yang beriman tidak mungkin meminta pelepasan daripada tanggungjawab jihad yang menuntut pengorbanan harta dan nyawa ( باموالهم وانفسهم ). Penunaian tanggungjawab itulah yang mengangkat darjatnya ke tahap ‘muttaqin’ (orang bertaqwa).

Seterusnya Allah menjelaskan hakikat manusia yang meminta pelepasan atau mengelak daripada turut serta dalam tugasan jihad. Hakikatnya ialah mereka itu ‘tidak beriman’.

Hakikatnya mereka tidak percaya tentang Allah dan tidak percaya tentang Akhirat -

(لا يوءمنون باالله واليوم الاخر ).

Sebenarnya hati mereka ragu-ragu tentang Allah dan lain-lain binaan iman -

( ارتابت قلوبهم ).

Keraguan itulah yang menyebabkan mereka bingung dan teragak-agak untuk menyertai jihad dengan sepenuh komitmen -

( فهم فى ريبهم يترددون ). Dalil 18 :

قل ان كان أبأوكم وأبنأوكم واخوانكم وأزواجكم وعشيرتكم وأموال ن اقترفتموها وتجارة تخشون كسادها ومساكن ترضونها أحب اليكم من الله ورسوله وجهاد فى سبيله فتربصوا حتى يأتي الله بأمره والله لا يهدى القوم الفاسقين

“Katakanlah (wahai Muhammad): "Jika bapa-bapa kamu, dan anak-anak kamu, dan saudara-saudara kamu, dan isteri-isteri (atau suami-suami) kamu, dan kaum keluarga kamu, dan harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu bimbang akan merosot, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, - (jika semuanya itu) menjadi perkara yang kamu cintai lebih daripada Allah dan RasulNya dan (daripada) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusanNya (azab seksaNya); dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada golongan yang fasik (derhaka).”

( At-Taubah : ayat 24 )

Keterangan ayat :

Allah memberi amaran kepada manusia supaya tidak silap menyusun keutamaan tumpuan dalam hidup. Orang yang beriman wajib meletakkan urusan Allah, urusan Rasul dan urusan jihad mengatasi semua urusan kehidupan yang lain, termasuk urusan-urusan yang biasanya menjadi fokus manusia, iaitu;

1. Urusan keluarga.

2. Urusan harta dan perniagaan.

3. Urusan kualiti keselesaan kediaman.

Sekiranya manusia lebih mengutamakan mana-mana urusan ini berbanding tumpuan kepada Allah, Rasul dan jihad – maka layaklah mereka menerima hukuman daripada Allah SWT. Ancaman Allah tentang hukuman ini amat menakutkan, iaitu “tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusanNya (azab seksaNya)”

- ( فتربصوا حتى يائتي الله بامره ).

Manusia yang salah fokus ini disifatkan oleh Allah sebagai golongan yang fasiq

( القوم الفاسقين ).

Berdasarkan semua dalil dan hujah ini, maka kita patut insaf bahawa wajib atas diri kita supaya menyertai PAS dan memberikan sepenuh komitmen kepada kerja-kerja Jamaah Islam ini, dalam perjuangan menegakkan Kalimah Allah di negara ini dan seluruh dunia. Insafi wahyu Allah ini;

واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغدوة والعشي يريدون وجهه ولا تعد عيناك عنهم تريد زينة الحياة الدنيا ولا تطع من أغفلنا قلبه عن ذكرنا واتبع هواه وكان أمره فرطا

“Dan jadikanlah dirimu sentiasa berdamping rapat dengan orang yang beribadat kepada Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang, yang mengharapkan keredaan Allah semata-mata; dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu daripada mereka hanya kerana mahukan kesenangan hidup di dunia; dan janganlah kamu mematuhi orang yang Kami ketahui hatinya lalai daripada mengingati dan mematuhi pengajaran Kami di dalam Al-Quran, serta ia menurut hawa nafsunya, dan tingkah-lakunya pula adalah melampaui kebenaran.”

( Al-Kahfi : ayat 28 )

Rabu, 12 Ogos 2015

Zikir Selepas Solat Dari Sunnah Nabi SAW & Amalan Mazhab Syafie


HADIS SUNAT BERDOA SELEPAS SEMBAHYANG.

1. Daripada Muaz, bahawasanya Nabi s.a.w berkata: “Ya Muaz! demi Allah! sesungguhnya aku mengasihi engkau, jangan engkau tinggalkan berdoa dengan doa اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ selepas sembahyang.”

2. Hadis daripada Abi Bakrah pada katanya: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ “Adalah Rasulullah s.a.w berdoa dengan doa ini selepas sembahyang.”

Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani dengan lafaz دُبُرَ الصَّلاةِ(mengiringi/belakang solat) pada hadis-hadis tersebut ialah selepas solat ( بَعْدَ الصَّلاةِ )dengan ijma’ ulama’, sebagaimana sabit dengan hadis:

3. Hadis Abi Hurairah, ditanyakan Nabi s.a.w: “Ya Rasulullah! bilakah doa yang terlebih segera diperkenankan? Bersabdanya: “Doa selepas solat fardhu ( بَعْدَ الْمَكْتوبَة ) terlebih afdhal daripada doa selepas solat sunat seperti kelebihan solat fardhu mengatasi solat sunat.”

4. Mengeluarkan hadis ini oleh Thabari daripada Jaafar As-Sadiq berkata: “Doa selepas solat fardhu terlebih afdhal daripada doa selepas solat sunat seperti kelebihan solat fardhu mengatasi solat sunat.”

5. Mengeluarkan hadis ini oleh Ibnu Syaibah daripada Al-Aswad Al-‘Aamiri daripada bapanya berkata: “Bersolat Subuh aku bersama Rasulullah s.a.w dan setelah selesai memberi salam lalu baginda berganjak dan mengangkat kedua tangannya berdoa.”

HADIS BERDOA SECARA BERJEMAAH.

Kami paparkan sebilangan hadis yang menjadi dalil dan sandaran bagi Berdoa Secara Berjemaah Selepas Solat Fardhu, di antaranya:

1. Mengeluarkan hadis ini oleh Thabarani di dalam kitabnya Al-Ausath daripada Qais Al-Madani: “…Waktu aku, Abu Hurairah dan seorang sahabat sedang berdoa dan berzikir mengingati Tuhan kami Azzawajalla di dalam masjid, tiba-tiba menuju Rasulullah ke arah kami dan duduk bersama-sama, kami pun berdiam diri, lalu ia bersabda: “Kembalilah kepada apa yang sedang kamu lakukan.” Berkata Zaid: “lalu aku serta sahabatku berdoa sebelum berdoanya Abu Hurairah lalu baginda mengaminkan doa kami…”

2. Megeluarkan hadis ini oleh Thabarani daripada Abi Hurairah daripada Habib bin Musallamah berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidaklah berhimpun satu jamaah (perhimpunan) lalu berdoa salah seorang di kalangan mereka itu dan yang lain mengaminkan doanya, melainkan Allah perkenankan doa mereka.”

3. Tersebut di dalam Sahih Muslim pada Bab Harus Berjemaah Pada Solat Sunat. Selepas Nabi s.a.w bersolat sunat berjemaah bersama-sama dengan Anas, emak dan emak saudaranya lalu baginda berdoa dengan secara berjemaah. Hadisnya secara ringkas: “Maka sembahyang Nabi dengan kami… kemudian ia mendoakan kami ahli rumah dengan setiap kebaikan dunia dan akhirat… dan adalah akhir doanya bagiku: “Ya Allah! perbanyak dan berkatilah harta dan anaknya, Anas.”

4. Mengeluarkan hadis ini oleh Thabarani di dalam kitabnya Al-Kabir daripada Ibnu Abbas dan di dalam Al-Ausath daripada Ibnu Omar, berkata keduanya: “Setelah sembahyang Rasulullah s.a.w solat Subuh, kemudian baginda menghadap kaumnya lalu berdoa, “Ya Allah! berkatilah kami pada bandar kami dan berkatilah pada cupak kami dan gantang kami.”

Telah menyebut kedua hadis ini oleh As-Samhudi di dalam Al-Wafaa dan rijal keduanya kuat, sebagaimana katanya.

Berkata Al-Muhaddis As-Sayyid Muhammad Yusuf Al-Binuri di dalam kitabnya Maarifussunan (Jilid 3, muka 123): “Maka ini (hadis di atas) dan hadis seumpamanya pada bab ini ialah memadai sebagai hujjah (dalil) bagi perkara yang dibuat secara beradat oleh manusia pada sekalian negeri, iaitu berdoa secara berjemaah selepas sembahyang. Kerana inilah juga telah menyebut Fuqaha kami (ahli feqah bermazhab Hanafi)…… dan berkata Imam Nawawi dalam Syarah Muhazzab: “Berdoa disunatkan bagi imam, makmum dan mereka yang bersembahyang seorang diri mengiringi sekalian sembahyang dengan ketiadaan khilaf ulama’ dan katanya lagi: “Disunatkan berhadap imam ke arah makmum dan berdoa.”

Sabtu, 8 Ogos 2015

Panduan Solat Jemaah oleh Al Fadhil Ustaz Fisol Fazil di Kompleks MATIN


Solat Berjemaah Mengikut Fikh Mazhab Syafie

1. Niat dalam solat

Makmum mestilah berniat makmum sewaktu takbiratul ihram. Batal solat jika dia sengaja mengikut imam tanpa niat makmum atas alasan tiada apa ikatan antara dia dengan imam. Kecuali kalaulah pengikutan dia dengan imam itu secara kebetulan, tidak batal solat, namun dia dikira solat sendirian (munfarid).

Makmum yang syak niatnya samada niat makmum atau tidak, jika dalam solat, batal solatnya. Kecuali dia belum mengikuti imam 1 rukun perbuatan, maka, dia boleh berniat menjadi makmum.

Imam pula, untuk mendapat kesempurnaan berjemaah, hendaklah berniat imam sewaktu takbiratul ihram jika dia ada makmum bersamanya seawal solat. Jika di pertengahan solat, baru ada makmum mengikutinya, maka dia berniat imam sesudah makmum selesai bertakbiratul ihram. Imam yang yang tidak berniat imam, sah sembahyangnya tapi tidak mendapat kelebihan berjemaah. Kecuali untuk solat jumaat, adalah wajib bagi seseorang berniat samada imam ataupun makmum.

2. Takbiratul ihram

Tidak boleh mendahului atau serentak dengan imam dalam takbiratul ihram. Makmum kena tunggu selesainya imam takbiratul ihram, barulah boleh dia takbiratul ihram. Jika tidak, batal solatnya.

Makmum yang takbiratul ihram dan mendapati imam sujud, boleh sahaja terus sujud tanpa mengucapkan takbiratul intiqalat.

Begitu juga, jika dia mendapati imam tasyahud awal atau tasyahud akhir, terus sahaja boleh duduk tasyahud tanpa perlu bertakbir intiqalat. Membaca tasyahud itu dibolehkan baginya.

Makmum yang takbiratul ihram kemudian mendapati imam telah memberi salam sebelum dia sempat duduk, maka dia hendaklah terus sahaja berdiri meneruskan solatnya. Tidak perlu baginya duduk lagi. Dia dikira mendapat jemaah.

3. Menunggu makmum

Adalah lebih afdhal berjemaah dengan orang yang sedikit di awal waktu daripada bersembahyang berjemaah dengan orang yang banyak di akhir waktu. Justeru, tidak sunnah mentakhirkan sembahyang sebab menanti akan orang yang banyak atau menanti orang-orang terpilih.

Sunnat bagi imam menanti di 2 tempat dalam sembahyangnya; Rukuk dan tasyahud akhir; akan orang yang dirasakan datang untuk mengikutnya. Jika dia menunggu untuk makmum mengikutnya masuk jemaah, dia boleh melebihkan tasbih dalam kiraan ganjil 5x, 7x sehingga kesempurnaannya ialah 11x. Jika tiada apa keuzuran seperti itu, makruh imam membaca tasbihnya dalam rukuk atau sujud lebih dari 3x.

4. Makmum Muwafik

Makmum muwafik (mengikut imam pada waktu kadar dia sempat membaca fatihah) yang dikira uzur hendaklah menyempurnakan bacaan fatihahnya tetapi tidak boleh ketinggalan dengan imam melebihi 3 rukun panjang (rukun perbuatan) sebagai syarat mendapat rakaat. Uzur di sini adalah seperti makmum itu bacaan fatihahnya lambat sedangkan imam membaca cepat. Atau makmum syak bacaan fatihahnya. Atau makmum sibuk membaca doa iftitah dan taawuz. Jika tiada uzur, tidak boleh ketinggalan dengan imam melebihi 2 rukun perbuatan atau sembahyangnya batal. Termasuk tiada uzur, ialah seperti makmum membaca surah atau makmum diam.

Makmum muwafik yang was-was dalam membaca fatihah tidak dikira sebagai uzur. Dia perlu menyelesaikan fatihahnya dan hanya dimaafkan sekadar 2 rukun (rukuk & i’tidal). Batal solat jika imam menuju sujud sedangkan dia masih lagi qiyam dan membaca fatihah.

5. Makmum Masbuk

Makmum masbuk (mengikut imam pada waktu kadar dia tidak sempat membaca fatihah) hendaklah terus membaca fatihah tanpa dilengahkan dengan doa iftitah dan taaawuz. Bila imam rukuk, dia hendaklah terus sahaja memberhentikan bacaan fatihahnya. Dia dikira mendapat rakaat, sekiranya dia mendapat rukuk itu bersama imam sekurang-kurangnya tukmaninah (sekadar waktu melafaz subhanAllah).

Sekiranya dia melengahkan bacaan fatihahnya atas sebab sibuk membaca doa iftitah atau taawuz atau diam disebabkan lupa atau mendengar bacaan imam: Maka bilamana imam rukuk, jika dia turut rukuk dengan sengaja, batal solatnya. Hendaklah disempurnakan bacaan fatihahnya dahulu sekadar banyak huruf yang telah dibacanya (doa iftitah atau taawuz) atau lama diamnya. Jika selesai membaca yang tersebut, didapati imam masih rukuk, dia dikira mendapat rakaat. Dia dikira tidak mendapat rakaat, jika imam sudah bangun daripada rukuk dan i’tidal. Justeru, hendaklah dia menyesuaikan diri (muwafakat) dengan terus i’tidal dan tidak wajib baginya rukuk. Jika imam menuju sujud, hendaklah dia terus menuju sujud juga, tidak wajib baginya rukuk dan i’tidal. Syarat baginya tidak boleh ketinggalan dengan imam 2 rukun perbuatan atau batal solat. Kecuali dia niat mufaqarah, maka dia boleh terus solat sendirian.

Makmum masbuk yang bilamana dia takbiratul ihram, didapatinya imam rukuk tanpa dia sempat membaca apa-apa dari Al-Fatihah, maka dikira mendapat rakaat sekiranya dia dapat rukuk bersama-sama imam sekadar tukmaninah atau kadar membaca subhanaAllah. Jika tidak, rakaat tersebut tidak dikira untuknya dan batal solatnya jika dia ketinggalan dengan imam 2 rukun perbuatan.

6. Memberi Salam

Makruh makmum serentak mengiringi Imam dalam memberi salam malah boleh menghilangkan kelebihan berjemaah. Tetapi batal solat jika mendahului imam dalam memberi salam.

Sunnat bagi orang yang masbuk, untuk menyelesaikan baki rakaatnya, bangun selepas imam selesai memberi kedua-dua salam. Bangunnya itu hendaklah disegerakan dan tidaklah boleh dia sengaja duduk dengan kadar yang lama. Bangunnya makmum itu hendaklah diucapkan takbir intiqalat jika dia bangun pada rakaat yang sepatutnya dia bangun daripada tasyahud awal. Jika tidak, tidak perlu baginya takbir intiqalat.

7. Mengulangi Solat (i’adah)

Sunnat bagi makmum mengulangi (i’adah) solatnya 1x atas alasan solat pertamanya itu adalah solat sendirian atau dia ingin menemani orang lain untuk solat berjemaah. Syaratnya solat kedua itu mestilah solat jemaah. Niatnya adalah sama seperti solat pertama.

Orang yang solat sendirian kemudian mendapati ada solat jemaah didirikan, ada 3 keadaan. Pertama, dia boleh berhenti terus daripada solat itu dan masuk jemaah. Kedua, Jika solat itu kurang daripada 2 rakaat, dia boleh sempurnakan solat 2 rakaat. Solat tersebut dikira solat sunat. Kemudian dia masuk jemaah. Ketiga, jika solat itu sudah melepasi 2 rakaat, dia boleh menyelesaikan solat fardhunya secara sendirian itu kemudian dia mengulangi solat dengan berjemaah.

8. Mendahului atau ketinggalan daripada Imam

Haram mendahului imam dengan sengaja satu rukun perbuatan dan batal jikan mendahului imam dengan 2 rukun perbuatan. Terkecuali bagi mereka yang jahil atau lupa.

Jika makmum mendahului imam satu rukun dengan terlupa atau tidak sengaja, dia boleh memilih untuk kembali kepada rukun sebelumnya atau tunggu sehingga imam berada pada rukun tersebut. Contoh jika makmum rukuk mendahului imam, maka bolehlah dia menunggu sehingga imam rukuk untuk kembali bersama-sama imam.

Bagi makmum yang ketinggalan tanpa uzur, tidak boleh melebihi 2 rukun perbuatan. Contoh, makmum masih berdiri, tetapi imam sudah sempurnakan 2 rukun perbuatan dan menuju sujud.

9. Memperingatkan kelupaan imam

Disunatkan bagi makmum memperingatkan kelupaan makmum dengan lelaki mengucapkan tasbih iaitu SubhanaAllah. Wanita pula hendaklah menepuk permukaan tapak tangan kanan ke atas belakang tapak tangan kiri. Apabila imam masih meninggalkan sesuatu yang fardhu, atas keyakinannya yang dia tidak meninggalkannya, walau setelah makmum mengingatkannya, maka makmum boleh mufaraqah.

Jika imam meninggalkan sunat abaa’d, walau setelah makmum menegurnya, maka makmum tidak perlu mufaraqah. Boleh sahaja dia ikut imam. Contoh, imam meninggalkan tasyahud awal atas sebab lupa. Walaupun nanti imam tidak sujud sahwi, makmum boleh sujud sahwi selepas imam memberi salam kedua. Jika imam sujud sahwi, wajib makmum ikut sekali. Jika tidak batal sembahyang makmum. Bagi imam kena niat sujud sahwi. Bagi makmum tidak perlu berniat apa-apa kerana dia mengikut imam. Sama juga jika imam sujud tilawah.

10. Imam batal sembahyang

Imam yang batal sembahyang atas sebab seperti hadas, boleh diganti oleh makmum dengan syarat makmum belum melakukan satu rukun perbuatan. Pengganti imam kenalah menggantikan imam di tempat imam berhenti.

Haram bagi makmum bersembahyang di belakang orang yang berhadas jika dia mengetahui akan hadas orang tersebut. Samalah sekiranya orang tersebut mempunyai najis pada pakaiannya. Jika sedang sembahyang, makmum baru mengetahuinya, maka wajib bagi makmum mufaraqah. Jika setelah selesai solat, makmum baru mengetahuinya, sah solat makmum, tetapi tidak bagi imam tersebut.

11. Syarat menjadi Imam

Syarat menjadi imam mengikut urutan seperti berikut didahului oleh Faqih atau faham dalam bab hukum hakam agama terutama sembahyang. Jika terdapat dua orang yang sama faqih, maka dilihat pada elok bacaannya. Samada dia seorang qari ataupun tidak. Jika terdapat persamaan pada baik bacaannya, maka dilihat pula dari segi kewarakannya.

Batal sembahyang orang yang qari di belakang orang yang ummi jika dia mengetahui akan umminya orang tersebut. Jika di dalam sembahyang, baru dia mengetahuinya, maka hendaklah dia mufaraqah.

Jika di masjid, maka imam yang dilantik oleh pihak masjid berhak menjadi Imam. Juga, di rumah, tuan rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali dia merasakan ada orang lain yang lebih berhak maka dia meminta orang lain menjadi imam. Namun, bagi pemimpin, dia lebih berhak menjadi makmum kepada anak-anak buahnya. Kecualilah dia menunjukkan orang lain menjadi imam.

Bagi imam yang berlainan mazhab, ia diukur mengikut iktiqad makmum. Jika makmum dapat mempastikan yang imam meninggalkan sesuatu yang diambil kira sah sembahyang dalam mazhab makmum, maka tidaklah sah mengikuti imam tersebut.

12. Saf Imam & Makmum

Saf hendaklah mengikut aturannya. Imam mestilah di hadapan makmum dan tidak boleh makmum terkehadapan daripada imam. Makmum lelaki di hadapan dan makmum perempuan di belakang lelaki. Tidak boleh saf perempuan berdiri terlalu jauh daripada saf lelaki yang akhir. Kalau ada 2 orang sahaja untuk berjemaah, makmum hendaklah berdiri di sebelah kanan imam, dekat betul dengan imam sekira-kira jari kelingking kaki kiri makmum bertemu tumit kaki kanan imam. Kalau ada 3 orang, maka 2 orang hendaklah berdiri betul-betul di tengah belakang imam dan jaraknya hendaklah dekat dengan imam kira-kira pada kadar 3 hasta. Begitu juga antara satu saf dengan saf lain di belakangnya. Jika terlalu jauh, maka hilanglah kesempurnaan berjemaah. Namun, ia dikira tetap sah solat.

Imam, sebelum mula mendirikan solat, hendaklah memastikan dahulu barisan saf untuk rapat dan lurus. Lurus itu mengikut tumit makmum. Manakala rapat itu bermaksud jari kelingking kaki makmum bertemu satu sama lain. Makmum pula janganlah hanya menjaga saf pada sebelum solat sahaja atau rakaat pertama sahaja. Sedangkan menjaga saf agar rapat dan lurus hendaklah berlaku pada setiap rakaat. Oleh yang demikian, sebaik bangun daripada sujud kedua untuk rakaat seterusnya, betulkanlah semula saf kita itu walaupun kita dalam keadaan solat.

Makmum yang seorang di kanan imam, bilamana datang seorang lain untuk menyertai jemaah, maka hendaklah dia berundur ke belakang selepas orang tersebut bertakbiratul ihram. Jika di belakangnya sempit, maka wajarlah imam tersebut yang mara ke hadapan.

Bagi seorang yang datang lewat kepada jemaah, hendaklah dia mengisi ruang kosong pada saf yang ada. Makruh baginya memulakan saf baru di belakang saf yang masih ada ruang kosong untuk diisi makmum. Jika ruang sudah penuh, dan dia seorang sahaja di belakang, bolehlah dia memulakan saf baru dengan bertakbiratul ihram, kemudian menarik seorang di saf hadapan menyertainya. Jika dia solat berseorangan di belakang, solatnya sah tetapi makruh baginya berbuat begitu serta kuranglah kesempurnaan jemaah baginya.

13. Solat Imam & Makmum

Harus bagi makmum yang solat penuh (tamam) mengikut imam yang solat qasar. Namun, imam hendaklah memberitahu sebelum solatnya yang dia solat qasar. Tidak menyalahi juga bagi makmum yang solat fardhu untuk mengikut imam yang solat sunat.

14. Jemaah baru

Bagi satu kumpulan yang masuk ke dalam masjid lalu mendapati imam dalam tasyahud akhir, afdhal bagi mereka untuk membuat jemaah baru selepas imam selesai salam. Dengan syarat waktu masih lapang dan tidak sempit.

Ahad, 2 Ogos 2015

Ustaz Nik Mahadi Nik Mahmood | Kuliah Jumaat 31 Julai 2015


Kuliah Jumaat 31 Julai 2015
Rakaman kuliah Jumaat yang disampaikan oleh Ustaz Nik Mahadi Nik Mahmood,
Penyelia Dun Kok Lanas.